Jumat 27 Nov 2015 05:46 WIB

Saku Keberkahan

Pengurus inovatif jadikan masjid mandiri. Jemaah dipenuhi keberkahan
Foto: Arabian Business
Pengurus inovatif jadikan masjid mandiri. Jemaah dipenuhi keberkahan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Muid Badrun

Pagi itu cuaca cerah membelah pinggiran Kota Semarang, Jawa Tengah. Angin semilir menyapa tanda pagi tiba. Selepas shalat shubuh di masjid, saya berhenti melihat kerumunan. Tampak orang duduk rapi di pinggir jalan menyantap sarapan.

Kendaraan lalu lalang tak dihiraukan. Saya penasaran dan menghampirinya. Ternyata mereka sedang menyantap sepincuk nasi. "Bu, saya satu pincuk ya," pintaku. "Antre ya mas," jawabnya singkat. Suasana pagi itu begitu indah.

Satu per satu pembeli dilayani dengan tertib. Jauh dari kesan rebutan seperti yang sering saya lihat di kota-kota besar. "Bu, sepincuk nasi berapa harganya?" "Tiga ribu mas," jawabnya singkat sambil melayani pembeli lainnya.

Sungguh, saya tergaget. Uang Rp 3.000 dapat sepincuk nasi. Padahal di kota-kota besar, untuk bayar parkir pun kurang. Apalagi untuk makan. "Jam berapa buka-nya, Bu?" tanyaku. "Jam 5, Mas". "Terus habisnya biasanya jam berapa?" "Jam 7..." jawabnya.

"Ibu tinggalnya di mana?". "Di Gubug, Mas". Gubug adalah kecamatan di wilayah Grobogan, Purwodadi. Butuh dua jam perjalanan untuk sampai ke lokasi. Hal ini dilakukannya lebih dari 10 tahun lamanya.

Dari ceritanya, ibu ini memiliki tiga putra. Semuanya kuliah dan ada yang sudah sarjana. Kesederhanaannya memikatku. Betapa besarnya Allah SWT. Allahu Akbar! Betapa Mahadilnya Allah. Betapa kasih dan sayangnya Allah pada hamba-hamba-Nya.

Kasihnya tak pernah pilih kasih. Sayangnya tak pernah hilang ditelan zaman. Semua hamba-Nya diberi ketika mau berusaha tiap hari. Termasuk ibu-ibu penjual nasi pincuk di pinggir jalan Kota Semarang ini.

Kita mestinya merasa malu (pada penjual nasi pincuk) karena suka menghambur-hamburkan uang. Kita malu karena uang Rp 3.000 ternyata begitu berarti. Kita malu, mengapa harus korupsi. Kita malu, mengapa harus mark-up/ proyek tiap hari.

Kita malu mengapa harus demonstrasi dengan tuntutan yang terkadang basi. Kita malu mengapa harus rebutan kursi. Kita malu mengapa harus menuntut hak tanpa tahu diri. Kita pun malu mengapa tak pernah bersyukur atas kesehatan yang diberi.

Ataukah jangan-jangan kita sudah tidak punya rasa malu? Termasuk pada diri sendiri? Maka, tepat sekali peringatan Allah SWT dalam surah Ar-Rahman yang diulang berkali-kali, "Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan?"

Makan nasi pincuk seharga Rp 3.000 saja sudah kenyang. Mengapa harus mencari lebih dan lebih ketika kecukupan itu sudah kita peroleh? Kesederhanaan dalam pola makan, pola sikap dan pola hidup inilah yang patut kita lakukan.

Sehingga, yang kita peroleh adalah keberkahan. Inilah yang sering dilupakan oleh kita semua dalam menjalani kehidupan. Berkah itu hakikatnya ziyadayul khair” artinya bertambah kebaikan.

Apapun yang kita lakukan, jika menjadikan kebaikan kita itu bertambah berarti ada nilai keberkahan di dalamnya. Demikian juga sebaliknya. Bukankah, kita sering mendengar cerita, tukang bubur bisa naik haji, penjual nasi pincuk bisa menyekolahkan anaknya sampai sarjana bahkan S3 dan masih banyak cerita-cerita penuh hikmah lagi.

Boleh jadi penjual nasi pincuk dan tukang bubur itu memiliki saku keberkahan. Sehingga apapun yang masuk dalam saku itu akan bertambah terus kebaikan demi kebaikannya. Inilah yang menjadikannya semakin mudah dalam meraih apa yang diharapkannya.

Mari kita renungkan firman Allah SWT ini, “Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi jika mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya,” (QS. Al-A’raaf: 96).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement