Kamis 20 Aug 2015 23:15 WIB

Rokhmin Dahuri: Jangan Sombong

Rep: Irwan Kelana/ Red: Didi Purwadi
Rokhmin Dahuri
Foto: Republika
Rokhmin Dahuri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap orang yang pergi haji mempunyai pengalaman masing-masing yang khas. Hal itu pun dirasakan oleh Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS.

Hingga saat ini, guru besar manajemen pembangunan pesisir dan lautan IPB Bogor itu sudah dua kali menunaikan ibadah haji dan enam kali umrah. "Pengalaman yang paling berkesan saat saya pertama kali menunaikan ibadah haji tahun 1994," kata Rokhmin saat berbincang dengan Republika.co.id, Senin (18/8).

Waktu itu, pria kelahiran Kampung Nelayan, Cirebon, 16 November 1958  itu adalah dosen muda di Fakultas Perikanan IPB Bogor. Ia baru pulang dari Kanada untuk menyelesaikan kuliah S3 di School for Resources and Environmental Studies, Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, Kanada, tahun 1991.

"Saya ikut haji reguler. Lamanya 40 hari," kata lelaki yang menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di IPB Bogor.

Berhaji ikut rombongan reguler, kata suami Pigoselpi Anas itu, banyak kenangannya. "Kamar penginapan ukurannya kecil untuk enam orang sehingga kami harus berdesak-desakan. Kamar mandinya untuk 20 orang sehingga harus antre," kata mantan menteri kelautan dan perikanan pada era Presiden Megawati itu.

Jarak penginapan ke Masjidil Haram cukup jauh, yakni tiga kilometer sehingga membutuhkan waktu cukup lama untuk berjalan pergi dan pulang ke Masjidil Haram. "Kami tiba di penginapan pukul sebelas malam. Pukul dua dini hari sudah harus bangun kembali. Antre ke kamar mandi kemudian jalan kaki ke Masjidil Haram," ucap ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Kondisi yang cukup berat tersebut, apalagi banyak jamaah haji dalam rombongan Rokhmin yang baru pertama kali ke luar negeri. Tak heran kalau akhirnya banyak yang terkena penyakit flu dan pilek. "Orang sering bilang, hanya unta yang tidak pilek dan batuk di Tanah Suci. Meskipun itu mungkin bernada bercanda, ada benarnya," kata Rokhmin, Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI), PDI Perjuangan itu.

Salah satu kenangan yang selalu diingat oleh Rokhmin dari pengalaman haji pertama kali adalah tidak boleh sombong di Tanah Suci. Ayah empat putri itu menceritakan, ada salah seorang jamaah yang menyombongkan diri, tidak mau berusaha mencium hajar aswad, walaupun mencium hajar aswad merupakan hal yang disunahkan. "Untuk apa mencium hajar aswad? Dia kan cuma sebuah batu?" ujarnya dengan nada sombong seperti ditirukan Rokhmin.

Ternyata kesombonannya itu langsung dibalas oleh Allah SWT. "Pulang dari Masjidil Haram, di tempat penginapan, dia berkali-kali menciumi toilet. Setelah dia sadar dan beristighfar, baru dia berhenti menciumi toilet tersebut. Subhanallah. Ternyata kalau berada di Tanah Suci, kita memang tidak boleh sombong," kata Rokhmin yang juga ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan.

Siapa pun yang sudah berhaji, kata Rokhmin, niscaya bisa merasakan atmosfer yang berbeda manakala shalat di Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah). Di Masjidil Haram, orang harus berebutan dan datang secepat mungkin agar mendapatkan barisan yang di depan.

Sedangkan di Masjid Nabawi, kata Rokhmin, suasananya jauh berbeda. Atmosfernya hangat dan tenang. Para jamaah semuanya kalem, tidak berebutan, dan tidak berdesak-desakan. "Kalau kita perhatikan filosofinya, ternyata memang hal tersebut wajar saja. Nabi mengatakan, siapa yang shalat di Masjidil Haram akan dibalas 100 ribu kali lipat, sedangkan yang shalat di Masjid Nabawi dibalas 1.000 kali lipat. Jadi, wajar saja kalau untuk mendapatkan yang 100 ribu kali lipat kita harus mengeluarkan effort yang lebih besar," kata Rokhmin memaparkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement