Sabtu 18 Jul 2015 14:06 WIB

Lanjutkan Iktikaf Produktif

Jamaah iktikaf di masjid At-Tin, Jakarta.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang/ca
Jamaah iktikaf di masjid At-Tin, Jakarta.

Oleh: Asep S Muhtadi

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Ensiklopedi Islam (1999), iktikaf berarti tinggal di dalam masjid yang dilakukan oleh seseorang dengan niat. Dalam sejumlah referensi fikih yang tersebar dan dibaca di Indonesia, secara istilah, iktikaf berarti menetap dan tinggal di masjid dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla.

Pengertian ini sama sekali tidak menyiratkan hanya pada bulan Ramadhan, yang secara eksplisit disebutkan dalam pengertian di atas adalah masjid. Iktikaf hanya bisa dilakukan di dalam masjid. Memang ada perbedaan pendapat tentang kategori masjid yang dapat digunakan sebagai tempat iktikaf.

Abu Hanifah, Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur sepakat bahwa iktikaf hanya dapat dilakukan di masjid-masjid yang biasa dijadikan tempat shalat lima waktu oleh masyarakat umum dan sepekan sekali di gunakan untuk shalat Jumat. Nabi SAW mengisyaratkan, "Masjid yang mempunyai muazin dan imam." (HR Da ruquthni).

Selama iktikaf, orang dapat melakukan apa saja yang berkaitan dengan proses taqarrub. Ada sebagian yang membaca Alquran, berzikir, atau diisi dengan shalat-shalat sunah.

Lalu pertanyaannya kemudian, dapat kah seseorang yang tengah melakukan iktikaf melakukan pekerjaan lain dan bahkan dilakukan di luar masjid? Menurut jumhur ulama, dapat.

Ketika Shafiyyah datang menjenguk Rasulullah yang tengah beriktikaf, lalu Rasulullah pun bangkit dan mengantarkan Shafiyyah pulang.

Bahkan dalam beberapa riwayat, dijelaskan bahwa selama iktikaf, seseorang dapat tetap terlibat dalam urusan rumah tangga, seperti menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan lain sebagai nya.

Ia tetap dapat terlibat dalam aktivitas sosial. Ia tidak bisa hanya menjadi dirinya sendiri. Bukankah agama selalu memelihara keseimbangan individu dan sosial?

Jadi, setiap ibadah termasuk iktikaf, tidak boleh kehilangan fungsi sosial yang berkaitan dengan dirinya dan orang lain.

Ibadah ini, dan juga ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, selain memberikan pencerahan melalui proses ta qarrub kepada Allah, juga harus mampu mem berikan dampak produktif bagi kepentingan umum (kemaslahatan sosial).

Islam tidak pernah memisahkan secara dikotomi dua kepentingan tersebut. Bahkan, Alquran berkali-kali mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara dimensi duniawi dan ukhrawi.

Dengan demikian, jika ajaran iktikaf masih mencerminkan praktik pengasingan diri secara pasif dengan mengambil posisi di masjid secara penuh selama sekitar sepuluh hari, menarik untuk dikaji ulang, terutama berkaitan dengan kepentingan produktivitas sosial yang juga tidak terlepas dari tuntunan agama.

Dalam Islam, tidak mungkin adanya pertentangan antara perintah yang satu dan perintah yang lainnya. Jika Alquran memerintahkan untuk tetap produktif, seseorang tidak boleh terus duduk dan tidak beranjak untuk mencari dunia.

Karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman dalam praktik iktikaf, tampaknya perlu dirumuskan makna "baru" dengan tetap memelihara spirit yang menjadi substansi ajaran itu.

Kita tentu tidak bisa memindahkan iktikaf ke kantor atau ke supermarket, bahkan di rumah sekalipun. Secara fisik, iktikaf tetap hanya dapat dilakukan di masjid. Namun, secara spirit kita harus mampu memelihara iktikaf di manapun dan kapan pun. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement