Senin 29 Jun 2015 13:41 WIB

Tiga Bekal Terbaik

Sedekah   (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sedekah (ilustrasi)

Oleh: Imam Nawawi

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di dalam Alquran, Allah Ta’ala berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS al-Baqarah [2]: 197). Ibn Katsir menjelaskan bahwa manusia memerlukan dua macam bekal, pertama, bekal materi dan, kedua, adalah bekal nonmateri.

Bekal materi (maknawi) itu meliputi kekhusyukan, ketaatan, dan ketakwaan. Karena itu, nabi dan rasul terus membekali diri dengan ketakwaan dengan melakukan beragam amal saleh. Tidak heran jika kemudian, Rasulullah memberikan satu peringatan penting agar umatnya tidak lalai, bosan, apalagi berhenti dalam mencari bekal takwa.

“Bertakwalah engkau kepada Allah di mana saja kamu berada, ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan (amal saleh) tersebut akan menghapuskannya (amal keburukan), dan bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang baik.” (HR Tirmidzi).

Pertanyaannya, bagaimanakah takwa itu diimplementasikan atau dioperasionalkan? Jika mengacu pada QS Ali Imran 134, takwa itu diwujudkan dalam bentuk senantiasa berinfak, baik dalam keadaan lapang dan sempit, menahan amarah, memberi maaf, dan melakukan kebaikan-kebaikan (ihsan).

Dengan kata lain, jika ingin bekal terbaik, lakukanlah tuntunan tersebut. Pertama, sedekah. Dalam hal ini, sedekah adalah jalan untuk menggapai takwa. Artinya sedekah bukan soal jumlah, ke siapa, dan kapan, tetapi ini soal mindset atau pola pikir.

Dikatakan pola pikir karena sedekah itu soal kesucian niat dalam membuktikan keimanan. “Sedekah adalah bukti.” (HR Muslim).

Dari sini dapat kita pahami secara rasional, mengapa Siti Khadijah, Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf sangat luar biasa dalam bersedekah. Mereka ingin dengan tulus membuktikan keimanannya. Dan, janji-Nya, “Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS an-Nisa [4]: 146).

Kedua, menahan amarah. Sepintas amalan ini sangat sepele, tetapi tidak mudah bagi mereka yang diuji keikhlasan dan kesabarannya. Di perjalanan, misalnya, saat mengendarai kendaraan, sering kali ada pengemudi lain yang mengambil jalur dan memotong jalan.

Mereka yang tidak memiliki niat mengambil bekal terbaik, pasti akan marah. Namun, bagi yang mau bekal terbaik, menahan amarah pun menjadi pilihannya meski secara posisi dirinya benar dan sangat mampu untuk melampiaskan kemarahan. “Siapa yang menahan marah, padahal ia mampu melakukannya akan dipanggil oleh Allah di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, kemudian Allah mempersilakan ia memilih bidadari yang diinginkannya.” (HR Ahmad).

Ketiga, memaafkan kesalahan manusia. Memaafkan identik dengan kerugian. Ego beralibi, bagaimana mungkin diri yang sudah telanjur mendapat kerugian akibat ulah orang lain, lantas begitu saja memberikan maaf. Namun, kalau hati menghendaki bekal terbaik, memaafkan pasti menjadi pilihannya. Sebab Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu?” (QS an-Nur [24]: 22).

Selagi masih Ramadhan, mari kumpulkan bekal terbaik dengan komitmen mengamalkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya untuk sampai pada derajat takwa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement