Selasa 18 Nov 2014 14:44 WIB

Perniagaan tanpa Rugi

Jual beli di sebuah pasar (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Jual beli di sebuah pasar (ilustrasi).

Oleh: Habib Ziadi

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sukses, untung, berhasil. Kata-kata itu selalu ada di otak manusia yang waras. Hidup ini merupakan ajang mengejar impian tersebut. Jalan untuk meniscayakannya, yakni dengan bekerja keras dan bekerja cerdas. Tetapi, sukses sejati tidak lengkap dengan itu saja. Islam mengajarkan keberuntungan yang paripurna.

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.”  (QS Fathir [35]: 29)

Ayat 29 di atas merupakan jawabannya. Keberuntungan bisa dikatakan paripurna bila dilengkapi dengan ”resep ruhani” sesuai konsep Alquran. Beruntung di sini disebut Alquran, perniagaan yang tidak akan merugi. Keuntungan bisa diraih dengan tilawah yang intens, shalat yang terjaga, dan sedekah yang tidak terputus.

Haruskah meraih keberuntungan dengan cara demikian? Di sinilah letak ciri khas ajaran Islam yang mulia. Kehidupan dunia harus senapas dengan tujuan akhirat. Sebab, Islam tidak mengenal sekularisme. Din ini mementang habis-habisan dikotomi kehidupan dunia dengan agama. Islam hendak menanamkan nilai-nilai religius di setiap lini kehidupan. Kehidupan di dunia harus dikawal ketat oleh aturan agama. Bukan bermaksud menihilkan kreativitas atau mengekang kebebasan, melainkan demi mengontrol manusia agar tidak melenceng dari kodrat kemanusiaannya.

Islam juga tidak mengenal partikularisme dan individualisme yang mementingkan kepentingan pribadi. Oleh sebab itu, kita mengenal itsar, yakni dalam urusan duniawi kita sepatutnya mengutamakan orang lain atas diri kita dan jangan takut untuk berbagi. Inilah tingkatan ukhuwah tertinggi menurut para ulama. Dari sinilah lahir konsep zakat, sedekah, hibah, dan sebagainya.

 

Kehidupan yang serba keras ini rentan membuat manusia stres dan depresi, termasuk orang Islam sekalipun. Oleh karenanya, selama berkutat dengan urusan dunia, kita dianjurkan menyempatkan tilawah, shalat yang tepat waktu, dan sedekah harta. Niscaya hidup akan seimbang. Karunia Allah pun niscaya akan datang berlipat ganda.

“Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” (QS Fatir [35]: 30).

Keberuntungan tidak cukup dengan kerja keras dan kerja cerdas. Betul, sukses materi bisa diraih dengan keduanya. Tidak peduli ia kafir atau Muslim. Bisa saja orang menjadi kaya raya walaupun ia memperolehnya dari jalan yang haram. Namun, Islam tidak memandang segampang itu. Islam menginginkan agar dalam meraih harta harus melalui pintu halal agar penghasilan jadi berkah. Saat yang sama, Islam memotivasi pekerja jangan melupakan ibadah agar tidak mudah stres.

Bekerja keras dan bekerja cerdas yang disempurnakan dengan konsep Fathir ayat 29 inilah yang berbuah perniagaan yang tidak akan merugi. Mereka yang menerapkan konsep Fathir ayat 29, menurut Sayyid Qutb dalam Fi Dzilal, sedang berbisnis dengan bisnis beromzet keuntungan. “Mereka bermuamalah hanya dengan Allah, itulah muamalah yang paling menjanjikan. Mereka berbisnis dengan itu di akhirat, itulah bisnis yang paling menguntungkan. Berbisnis yang mengundang curahan pahala dan bertambahnya karunia Allah bagi mereka,” kata beliau.

Kesimpulannya, berbisnis di dalam Islam itu terikat dengan aturan syara’ yang ketat. Ada aturan halal dan haram. Orientasi bisnis pun bukan sekadar mengejar target finansial semata, melainkan harus juga untung pahala. Bekerja bukan urusan otak dan otot saja, namun bekerja itu juga ibadah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement