Jumat 27 Jul 2012 04:29 WIB

Puasa dan Pembentukan Karakter Bangsa

 Sebuah keluarga Pakistan tengah menanti saat berbuka puasa di Masjid Badshahi di Lahore, Pakistan, Sabtu 21/7). (K.M. Chaudary/AP)
Sebuah keluarga Pakistan tengah menanti saat berbuka puasa di Masjid Badshahi di Lahore, Pakistan, Sabtu 21/7). (K.M. Chaudary/AP)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry M Zein

 

Ibadah puasa  Ramadhan memang dapat dikatakan sangat berbeda dengan jenis ibadah lainnya. Ibadah ini langsung diawasi oleh Allah SWT. Pengawasan langsung itu membuat puasa melahirkan manusia-manusia takwa.

Manusia yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan keinginan yang buruk. Puasa juga mengandung makna pembangunan atau pembentukkan karakter, penguasaan atas hawa nafsu dan suatu inspirasi ke arah kreativitas individual dan sosial.

Puasa merupakan salah satu pilar fundamental tegaknya bangunan Islam. Di antara motivasi dan cita-cita besar Allah mewajibkan umat Islam berpuasa adalah agar menjadi manusia sebagai hamba yang bertakwa kepada-Nya.

Kelebihan puasa dari ritual upacara ibadah lainnya dalam Islam adalah karena sifatnya yang pribadi dan tersembunyi alias tidak terlihat oleh pandangan kasat manusia. Karena itu tdak salah jika kita menyebut puasa merupakan ibadah “rahasia”.

Allah dalam sebuah hadis qudsi seperti yang tercantum dalam kitab Bukhari dan Muslim berfirman bahwa puasa adalah milikNya yang pribadi dan Ia pun akan memberikan pahala secara spesial dan pribadi kepada hamba-hambanya yang diterima amal ibadah puasanya. “Puasa itu untuk-Ku, karena itu Akulah yang akan memberi ganjaraannya langsung!” (Bihar al-Anwaar 96:255).

Saya bersepakat apa yang dikatakan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj dalam tulisannya di sebuah media massa. Kiai Said Aqil mengatakan secara kebangsaan Indonesia, puasa merupakan momentum untuk pembetukkan karakter bangsa. Puasa akan melahirkan manusia-manusia yang memiliki prinsip tangguh, kesabaran, keiklasan dan tidak pantang menyerah serta memiliki solidaritas dan saling mengasihi satu sama lain. Prinsip itu saat ini terkesan luntur (bahkan menghilang) di sebagian besar masyarakat Indonesia.

Padahal, hakikat Allah SWT menciptakan manusia adalah agar saling mengasihi, tidak bersifat egoisme. Dengan dibekali akal pikiran yang sehat serta hati nurani yang jernih, manusia diharapkan mampu menjadi pengayom yang adil terhadap semua makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Bukan sebaliknya merusak dan menghancurkan mahluk hidup yang ada di muka bumi.

Dengan media puasa ini, manusia diharapkan dapat ingat dan mau kembali kepada jati dirinya yang suci dan luhur dengan hadirnya kembali nilai-nilai kemanusian yang arif dan bijak. Ketika nilai fitrah manusia tersebut muncul kembali, maka nilai persamaan dan solidaritas atas penderitaan sesama makhluk hidup akan dapat hadir kembali mewarnai hari-hari anak Adam, seiring nilai-nilai yang diajarkan dalam media puasa. Jika kita merenung dan mengkaji literature Islam, dimensi kemanusiaan dan sosial dalam puasa sebenarnya sangat kental.

Puasa memiliki dimensi garis horisontal yang kental dengan nuansa kehidupan sosial seperti berderma, membebaskan budak (menyantuni orang dhuafa) sabar dalam menerima cobaan. Karena barometer kebajikan bagi Allah bukan diukur dari banyaknya interaksi pribadi hamba kepadaNya akan tetapi kebajikan yang bersifat holistik, yang dapat menjiwainya dalam kehidupan sosial.

Bulan Ramadhan ini sebenarnya punya maksud dan nilai yang sangat mulia yang tidak hanya terbatas pada pembentukan pribadi-pribadi yang shaleh tapi juga membentuk karakter building sebuah masyarakat (bangsa) yang saleh dan kokoh.

Karena puasa sebenarnya sarat dengan pesan etika kesalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial.

Ketika kita sudah dapat menangkap nilai yang terkandung dalam puasa, maka diharapkan ia mampu membebaskan dirinya dari bayang-bayang egoisme dan menghayati kembali nilai-nilai fitrah suci dalam dirinya.

Dengan demikian, maka ia sebenarnya telah tersadar akan posisi dirinya sebagai makhluk sosial sejati yang harus peka dengan problematika kehidupan sosial yang ada di sekitarnya, dalam arti tidak lagi berpangku tangan dan justru akan menjadi ringan tangan membantu sesamanya yang masih dirundung duka dan nestapa.

Gambaran kepekaan sosial ini akan kita temukan dengan gamblang saat orang-orang yang berpuasa tersebut diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah di penghujung akhir puasanya sebagai media penyempurna ibadah puasanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement