Kamis 28 Jun 2012 23:28 WIB

Mengapresiasi Kiblat

Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: Prasetyo Utomo/Antara
Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Asep S Muhtadi

 

Tafsir peristiwa Isra Mi’raj hingga kini masih menyisakan banyak warna. Pada zamannya, di mata orang-orang yang tak beriman, peristiwa ini dipandang aneh, bahkan mustahil. Karena tak masuk akal, mereka menuduh Muhammad telah berdusta. Sulit dipercaya memang.

Rasulullah melakukan perjalanan antara Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Aqsha di Palestina hanya dalam sekejap waktu. Ketika kembali ke rumahnya, menurut banyak riwayat, tempat tidurnya masih terasa hangat.

 

Lalu mengapa harus berangkat dulu ke Masjidil Aqsha sebelum mi’raj (naik) ke Sidratul Muntaha? Bukankah dari Masjidil Haram pun Nabi Muhammad bisa saja naik menuju Sidratul Muntaha? Apalagi, menurut pendekatan kebahasaan, Nabi Muhammad tidak berangkat, tapi diberangkatkan. Karena itu Allah dan para Malaikat sesungguhnya dapat memi’rajkan Rasulullah dari manapun. Tapi begitulah Allah menyisipkan hikmah lain dalam sebuah peristiwa.

 

Isyarat sejarah ini tidak mudah dipahami. Tapi di antara fakta yang relatif mudah dibaca adalah bahwa Masjidil Aqsha saat itu masih merupakan kiblat. Nabi beserta para sahabatnya melaksanakan shalat dengan menghadap ke Masjidil Aqsha di Palestina.

Bahkan karena proses ritual ini pula, orang-orang kafir Makkah memperolok-olokan Nabi. “Jika masih menghadap ke Palestina, mengapa harus membawa-bawa agama baru, wahai Muhammad; kembalilah ke agama nenek moyang kami,” ujar mereka mengejek.

 

Nabi pun berdoa agar kiblat itu dipindahkan ke Masjidil Haram di Makkah. Berkali-kali Rasul berdoa. Tapi Allah belum mengabulkannya juga. Begitu kuatnya keinginan Nabi menjadikan Ka’bah sebagai kiblat, ketika masih di Makkah, sering dalam shalatnya Nabi memilih tempat di posisi arah yang dapat menghadap ke Masjidil Aqsha tapi juga sekaligus menghadap ke Ka’bah. Ketika hijrah ke Madinah, kiblat itu masih juga belum berpindah ke Makkah. Di Madinah, Nabi bersama para sahabatnya masih menghadap ke Palestina dalam shalatnya.

 

Sampai suatu ketika, seperti dikisahkan dalam sejumlah riwayat, pada saat Nabi tengah melaksanakan shalat Zhuhur berjamaah, tiba-tiba Nabi berbalik arah, memutar posisi shalat menghadap arah berlawanan. Seusai shalat, para sahabat bertanya. Lalu Nabi menjelaskan, bahwa telah diterima wahyu (QS, 2: 144) yang memerintahkan untuk mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsha di Palestina ke Ka’bah di Masjidil Haram di Makkah. Allah mengabulkan permohonan Rasulullah.

 

Hingga saat ini, dikenal dan berdiri megah Masjid Qiblatain (masjid dua kiblat) di Madinah sebagai saksi sejarah diturunkannya perintah itu. Sejak saat itu, seperti juga kita lakukan saat ini, setiap kali shalat, kita menghadap kiblat, Ka’bah al-Mukarramah yang terletak di Masjidil Haram di Makkah.

 

Jadi, seperti dilakukan jutaan orang saat ini, mengunjungi Ka’bah di kota Makkah, salah satunya, merupakan upaya memelihara tradisi seperti pernah dilakukan Rasulullah. Tradisi mengunjungi kiblat telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad, ketika kiblat masih terpusat ke Masjidil Aqsha di Palestina. Jika dalam perjalanan (isra) menjelang naik (mi’raj) Nabi sempat berkunjung ke kiblat (Masjidil Aqsha), maka kita saat ini dianjurkan berkunjung ke kiblat (Ka’bah) di Kota Makkah sebelum mengunjungi kota-kota lainnya di dunia.

 

“Jika kalian berkesempatan, berkunjunglah ke tiga masjid: Masjidku di Madinah, Masjidil Haram di Makkah, dan Masjidil Aqsha di Palestina,” demikian sabda Rasul SAW.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement