Ahad 12 Jan 2014 22:21 WIB

Sekaten dalam Spirit Maulid Nabi

 Sejumlah penari membawakan tarian kolosal yang mengisahkan penyebaran agama Islam di tanah Jawa saat pembukaan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) Tahun Wawu 1945/2011 Masehi di kawasan ALun-ALun Utara, Yogyakarta, Rabu (28/12).
Foto: Antara/Noveradika
Sejumlah penari membawakan tarian kolosal yang mengisahkan penyebaran agama Islam di tanah Jawa saat pembukaan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) Tahun Wawu 1945/2011 Masehi di kawasan ALun-ALun Utara, Yogyakarta, Rabu (28/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Dalam khazanah spiritual budaya Jawa, sebuah tradisi memang memiliki akar yang sangat kuat bagi kalangan masyarakat sekitar. Bahkan, tradisi itu dianggap sebagai simbol keselamatan dan keberkatan dari Tuhan sehingga perlu dilestarikan eksistensinya. Sebagai sebuah warisan sejarah, sebuah tradisi ritual tidak bisa lepas dari kepercayaan masyarakat sebelumnya yang sudah mengenal upacara-upacara keagamaan yang bersifat mistis-religius.

 

Diantara sekian banyak tradisi dan budaya yang menarik dicermati adalah perayaan sekaten yang biasa digelar menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad. Sekaten merupakan salah satu kebudayaan yang lahir dan tumbuh berkembang atas dasar inspirasi Islam yang mengandung nilai-nilai spiritual agama. Dalam sekaten terdapat relasi positif antara aspek budaya dan agama, bahkan bisa dikatakan bahwa “akar tunjang” Sekaten itu sesungguhnya adalah agama (Asep Purnama Bahtiar, 2005).

Genealogi Sekaten

Lalu, siapa yang sebenarnya pertama kali menggagas tradisi Sekaten di kalangan masyarakat Yogyakarta? Sejarah awal Sekaten, sebenarnya digagas oleh Walisongo dalam rangka dakwah di Pulau Jawa. Pada mulanya adalah media untuk melakukan doa tolak bala. Ketika itu, masyarakat dilanda banyak bencana, mulai dari kemarau panjang, gagal panen, wabah penyakit menular, hingga kematian ternak yang cukup banyak. Dari berbagai bencana tersebut, Walisongo sangat prihatin dan dilakukanlah berbagai usaha dalam rangka memberi ketenangan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Secara historis, tradisi sekaten berkembang dari masa ke masa sampai mencapai puncaknya ketika ritus religius ini dirayakan secara berkala oleh seluruh masyarakat Yogyakarta. Bila kita bercemin pada akar kelahiran tradisi Sekaten, di situ kita akan menemukan sebuah transisi spiritual budaya Jawa yang memiliki nilai mistis. Kendati tradisi sekaten bukan merupakan warisan murni ajaran Islam, namun hal itu mengandung khazanah spiritual Jawa yang sangat fenomenal dan menakjubkan. Sebagai warisan budaya, sekaten akhirnya berkembang dengan cepat di kalangan masyarakat luas yang mencerminkan harmoni Islam dan kearifan lokal (local wisdom).

Tradisi sekaten sesungguhnya berkaitan langsung dengan masa peralihan Majapahit ke Demak yang mencoba menanamkan nilai-nilai ajaran Islam yang berbasis budaya dan menyentuh terhadap sanubari masyarakat. Pada masa peralihan ini, tradisi sekaten mulai diperkenalkan sebagai bagian dari upaya untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi sekaten pun mulai diterima dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat sebagai salah satu dari sekian tradisi lokal yang berwawasan keislaman.

Intinya, perayaan sekaten sudah ada pada zaman kerajaan Demak ketika Raden Patah menjadi rajanya. Perayaan sekaten ini dilaksanakan langsung oleh para wali pada tanggal 5-12 Rabiul awwal dengan maksud memperingati maulid Nabi Muhammad dan juga untuk menyiarkan dakwah agama Islam kepada masyarakat dengan semangat harmoni dan damai.

Filosofi Sekaten dan Spirit Maulid

Upacara Sekaten bertujuan untuk memeriahkan peringatan ulang tahun Nabi Muhammad yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Yogyakarta (dan juga di alun-alun Surakarta secara bersamaan). Konon, nama ini merupakan hasil evolusi panjang dari kata “syahadatain”, yang kini kemudian menjadi kata sekaten. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.

Sementara itu, acara puncak peringatan sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad. Dengan pengawalan prajurit Kraton, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Arakan gunungan yang berisi berbagai macam hasil pertanian menjadi simbol berkah Sultan kepada rakyatnya.

Dalam beberapa penelitian, Gunungan pun memiliki makna filosofi yang mengandung unsur-unsur religius guna memohon keberkata kepada Tuhan. Simbol Gunungan itu menemukan makna filosofinya yang mencerminkan ketaatan rakyat kepada rajanya. Simbol Gunungan dalam tradisi sekaten bukan sekadar bermakna “pengharapan keberkatan dan kemuliaan”, namun lebih daripada itu sebagai momentum untuk merefleksikan diri atas keteladanan Nabi Muhammad yang menjadi tonggak utama pilar keislaman.

Sakaten dan Komersialisasi Perayaan

Pada upacara sakaten, biasanya diadakan pasar malam selama satu bulan lebih yang bertujuan untuk sekadar memeriahkan ritus religius itu. Kemeriahan malam sekaten, tampak sekali pada acara puncaknya yang bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad sehingga banyak warga Yogyakarta yang berbondong-bondong untuk sekadar mengikuti ritual sekaten yang sudah menjadi simbol budaya bagi masyarakat Jawa secara umum.

Tidak heran bila sekaten yang merupakan produk budaya hasil kreasi para wali figur-figur pemegang otoritas dan pengampu bidang agama pada masa lalu-memiliki substansi yang cukup kental dengan nuansa spiritual dan nilai-nilai sakral keagamaan. Tidak jarang perayaan sekaten oleh masyarakat Jawa, diidentikkan sebagai bagian integral dari ritus agama yang terbingkai dalam spirit Maulid Nabi. Maka ide dasar perayaan saketan, sesungguhnya berkaitan dengan syiar dan dakwah agama yang memuat simbol syahadatain.

Ironisnya, upacara sekaten dalam konteks kekinian mulai tergerus oleh budaya hedonis masyarakat Yogyakarta sendiri yang telah terjebak dengan komersialisasi perayaan yang tidak ada manfaatnya. Masyarakat lebih mementingkan kemeriahan pasar malamnya, daripada perenungan terhadap keteladanan Nabi Muhammad itu sendiri, sehingga nilai signifikansi dari sekaten tampak kering rohani dan spiritual. Maka, upacara sekaten setiap tahun mesti dikembalikan pada fungsinya semula, yakni dengan menekankan fungsi dakwah dan menyiarkan Islam secara damai.

Dari tahun ke tahun, sekaten pun hanya untuk tontonan, bukan tuntunan. sekaten belum berfungsi sebagai forum yang mengutamakan aspek dakwah yang menjadi spirit dalam Maulid Nabi, melainkan hanya perayaan, hiburan dan pasar malam. Kita boleh mengatakan, bahwa kadar dakwahnya tak lebih dari 15% saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement