Jumat 13 Apr 2018 13:06 WIB

Hukum Memelihara Anjing

Imam Syafii menetapkan bahwa tubuh anjing secara keseluruhan bersifat najis.

Rep: Achmad Syalaby Ichsan/ Red: Agus Yulianto
Seekor anjing pasien Shanghai TCM (Traditional Chinese Medicine) Neurology and Acupuncture Animal Health Center di Shanghai, Cina.
Foto: Aly Song/Reuters
Seekor anjing pasien Shanghai TCM (Traditional Chinese Medicine) Neurology and Acupuncture Animal Health Center di Shanghai, Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, Hesti Sutrisno, perempuan bercadar yang tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, sempat menjadi perbincangan warga sekitar. Hesti sempat membawa seekor anjing hitam bernama John pada 2015 lalu. Hari berganti, makin banyak anjing liar yang ditolong Hesti. Pada Maret 2018, anjing-anjingnya bertambah hingga 11 ekor.

Apa yang dilakukan Hesti menjadi viral. Banyak yang memuji, tak sedikit yang mengecam. Ada pula yang mempertanyakan mengapa Muslimah taat seperti Hesti rela tinggal bersama anjing yang notabene membawa najis. Hesti bukan tidak mengerti jika ada najis dalam air liur anjing. Menurut Hesti, Islam tak hanya menetapkan sesuatu itu najis, tetapi juga bagaimana menyucikannya kembali. Dia pun mengaku kerap bersuci setelah berinteraksi dengan anjing.

Sebenarnya bagaimana Islam memandang tentang memelihara anjing ini? Apakah menolong anjing dan memelihara anjing menjadi dua hal yang diperbolehkan atau dilarang?

Dalam Islam, anjing sesungguhnya dikenal sebagai binatang yang bisa mengantarkan ampunan dan pahala. Dalam sebuah hadis cukup terkenal yang bersumber dari Abu Hurairah dan diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, dikisahkan bahwa ada seorang perempuan pelacur melihat seekor anjing sedang mengelilingi sebuah telaga pada hari nan terik.

 

Anjing itu berusaha menjulurkan lidahnya karena kehausan. Perempuan itu pun menggunakan alas kaki yang terbuat dari kulit untuk mengambil air itu hingga anjing tersebut dapat minum. Nabi SAW pun bersabda, atas perbuatannya itu, dosa wanita itu diampuni.

Kisah lainnya yang masih bersumber dari Abu Hurairah dan diriwayatkan Imam Bukhari-Muslim menjelaskan, seorang lelaki pernah berjalan dan mengalami kehausan. Dia berjumpa sebuah telaga untuk turun dan meminum airnya. Ketika keluar dari telaga itu, dia melihat seekor anjing mengeluarkan lidahnya. Dia menjilat-jilat debu karena kehausan. Lelaki itu berkata di dalam hatinya, anjing ini pasti kehausan seperti aku.

Dia pun turun ke dalam telaga dan memasukkan air ke dalam alas kakinya. Lelaki itu menggunakan mulutnya untuk menggigit alas kaki itu supaya dapat membawanya naik ke atas. Dia hendak memberikan air kepada anjing itu. Melihat itu, Allah SWT berterima kasih kepadanya dan mengampuninya.

Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya perbuatan kita terhadap binatang seperti anjing tersebut bisa mendapatkan pahala?" Rasulullah SAW menjawab, "Setiap yang mempunyai ruh (bernyawa) ada pahalanya."

Anjing sesungguhnya menyimpan najis dari air liurnya. Karena itu, Rasulullah SAW menyuruh kita untuk mencuci bejana tempat air dengan tujuh kali cucian, sedangkan satu di antaranya menggunakan tanah. Ini pun di-qiyas-kan sebagai alasan para ulama untuk menetapkan bahwa air liur anjing bersifat najis.

Dr Said bin Ali bin Wahf al- Qahthani menjelaskan, najis adalah kotoran yang harus dibersihkan dan dicuci pada bagian yang terkena olehnya. Dalam hal ini, kewajiban untuk membersihkan bejana yang terkena liur anjing menjadi cara untuk membersihkan najis.

Imam Malik mengungkapkan, najis hanya sebatas pada air liur anjing, sedangkan tubuhnya boleh untuk disentuh. Imam Syafii RA menetapkan bahwa tubuh anjing secara keseluruhan bersifat najis. Menurut Imam Sya fii, tidak ada yang bisa memastikan di bagian mana saja anjing itu menjilati tubuhnya. Ketika menyentuh anjing tersebut, kita bisa terkena najis.

Nabi SAW pun secara eksplisit menyebutkan syarat agar anjing bisa dipelihara. Diriwayatkan dari Sufian bin Abu Zuhair RA, katanya, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Barang siapa yang memelihara anjing bukan untuk menjaga ladang atau ternak maka setiap hari pahala amalannya akan berkurang sebanyak satu qirat.'" Dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Al Halal wal Haram fi Islam, terbitan Darul Ma'rifah dan terjemahan versi Indonesia, Halal Haram dalam Islam, mengungkapkan, di antara yang dilarang Nabi SAW adalah memelihara anjing di rumah tanpa ada suatu alasan untuk keperluan.

Larangan ini tidak lain untuk anjing yang dimiliki (dipelihara) bukan untuk keperluan atau manfaat tertentu. Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa larangan memelihara anjing tersebut adalah makruh, bukan haram, kecuali pemeliharaan anjing untuk pemburu, penjaga ternak, kebun, dan sejenisnya adalah boleh.

Makruh adalah suatu hal yang dibenci atau larangan Allah SWT yang tidak dikenai sanksi haram. Namun, orang yang mempermudah dan mengabaikan hal yang makruh cenderung terjerumus dalam hukum haram.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut pernah memberi fatwa mengenai hukum memelihara anjing ini. Menurut MUI, hukum memelihara anjing untuk tujuan dan kebutuhan dan manfaat tertentu serta segala perkara yang berkaitan dengan pemeliharaannya bersifat mubah. Jika tanpa adanya keperluan dan manfaat, hukumnya menjadi makruh.

Meski demikian, MUI Garut memberi catatan jika dalam memelihara anjing tidak berkeliaran di dalam rumah. Anjing harus ditempatkan dalam kandang atau pekarangan khusus agar terpelihara, terjaga, dan tidak menimbulkan dampak negatif atau membahayakan lingkungan sekitar.

Untuk anjing yang diperbantukan sebagai binatang pemburu atau penjaga keamanan, semestinya memperoleh didikan untuk kepentingan tuannya. MUI juga memberi catatan agar anjing-anjing liar yang dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan binatang pemburu sebaiknya diserahkan kepada otoritas berwenang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement