Senin 19 Mar 2018 18:07 WIB

Menyoal Kegiatan Mata-Mata

Istilah mata-mata dalam Islam disebut dengan tajassus.

Mata-Mata (ilustrasi)
Foto: Telegraph.co.uk
Mata-Mata (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai sebuah institusi negara, kegiatan mata-mata adalah sebuah hal yang lumrah dilakukan. Terlebih dalam dunia militer. Kegiatan mata-mata penting untuk mengetahui kekuatan lawan terutama dalam perang. Lalu apakah dalam Islam, kegiatan memata-matai diperbolehkan? Jika diperbolehkan, adakah kondisi tertentu diperbolehkannya kegiatan mata-mata?

Istilah mata-mata dalam Islam disebut dengan tajassus. Tujuannya untuk menyelidiki kekuatan musuh mulai dari taktik, kekuatan personil, perbekalan untuk dilaporkan kepada pimpinan pasukan. Orang yang menyelidiki rahasia atau keadaan orang lain disebut mata-mata (al-jasus).

Konteks mata-mata yang dibahas kali ini adalah dalam peperangan. Bukan sebuah keggiatan mengetahui kejelekan orang lain dan membebarkannya untuk orang lain. Soal ini Allah SWT jelas melarangnya, "..janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.." (Qs al-hujurat [49]:12).

Soal hukum mata-mata dalam konteks siasat peperangan, ulama membagi hukumnya menjadi dua bagian. Pertama hukum orang Islam memata-matai keadaan musuh. Para ulama sepakat soal kebolehan seorang pemimpin kaum Mukminin mengirimkan seseorang untuk menyusup ke daerah musuh dan menyelidiki kekuatan musuh.

Tujuan dari penyelidikan ini adalah mengetahui taktik musuh dan memenangkan peperangan agar umat Islam tidak mendapatkan kehancuran. Dasar dari kebolehan ini adalah surah al-Baqarah ayat 195, "Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri.."

Umat Islam wajib memelihara jiwa dan mempertahankan eksistensi agama Allah SWT. Tujuan ini digariskan oleh Allah SWT dengan jihad dalam upaya menghadapi bahaya yang ditimbulkan oleh pihak yang tidak senang dengan agama Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS al-Baqarah [2]: 190).

Mata-mata, menjadi salah satu elemen kekuatan dalam menghadapi kekuatan musuh. Umat Islam diperintahkan menyiapkan kekuatan apa saja untuk menghadapi musuh yang memerangi mereka. Hal ini termaktub dalam surah al-Anfal ayat 60.

Selain perintah Allah, perbuatan mata-mata saat perang juga pernah dicontohkan dalam sirah Rasulullah SAW saat perang Badar. Saat itu, Rasulullah mengutus 12 orang yang dikepalai Abdullah bin Ubay Hadrad untuk menyelidiki kekuatan musuh.

Dari ekspedisi mata-mata tersebut didapatkan laporan jika kekuatan musuh mencapai 1.000 orang terdiri atas 300 orang pasukan berkuda dan 700 orang pasukan berunta.

Nabi SAW sendiri saat Perang Badar juga melakukan fungsi mata-mata. Saat itu Beliau SAW bersama beberapa sahabat menunggang kuda mengelilingi medan Badar yang akan menjadi tempat pertempuran. Lalu lewatlah seorang Arab.Nabi Muhammad SAW pun menyamar menjadi orang biasa dan menanyakan kepada orang Arab tersebut keadaan pasukan musuh dan pasukan kaum Muslimin.

Kedua, hukumnya memata-matai umat Islam. Bahasan ini pun dibagi menjadi dua hal. Pertama orang Islam yang memata-matai kekuatan umat untuk dilaporkan ke musuh dan kedua orang kafir yang memata-matai umat Islam.

Hukum orang Islam yang memata-matai umat Islam sendiri adalah haram. Soal jenis hukumannya ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama menghukuminya dengan hukum takzir, yakni jenis dan jumlahnya diserahkan kepada pengadilan.

Hal ini berdasar pada kisah Hathib bin Balta'ah yang mengirimkan pesan kepada kaum Musyrik Makkah lewat seorang kurir wanita. Kejadian ini terbongkar berkat informasi dari Rasulullah SAW.

Rasulullah menolak hukuman mati terhadap Hathib yang diusulkan oleh Umar bin Khattab RA dan menyerahkan jenis hukuman kepada kaum Muslimin.

Sementara Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat lain. Menurutnya, seorang Muslim yang memata-matai umat Islam untuk dilaporkan kepada musuh bisa dijatuhi hukuman mati. Ibnu Hajar juga berdalil pada hadis soal Hathib.

Menurut Ibnu Hajar, Hathib mendapat keistimewaan hukuman berupa takzir karena ia adalah ahlu Badar seperti yang disabdakan Rasulullah SAW. Sementara yang lain tidak mendapat keistimewaan tersebut.

Soal orang kafir yang memata-matai umat Islam pun hukumnya dibagi menjadi dua. Pertama untuk kafir harbi, yakni yang memerangi umat Islam. Kedua, kafir zimmi yang terikat perjanjian dengan umat Islam.

Para ulama sepakat jika yang memata-matai umat Islam adalah kafir harbi maka ia bisa dijatuhi hukuman mati. Namun jika yang memata-matai termasuk kafir zimmi, para ulama terbelah pendapatnya.Sebagian ulama sepakat meski terikat perjanjian dengan umat Islam, kafir zimmi yang terbukti memata-matai umat Islam bisa dijatuhi hukum mati.

Sementara Imam Malik dan Abdurrahmah al-Auzai mengatakan kafir zimmi yang memata-matai tidak boleh dibunuh. Hanya saja status perjanjian dan hak dia untuk dilindungi batal. Allahua'lam.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement