Sabtu 17 Mar 2018 21:00 WIB

Asal-usul Ilmu Ushul Fikih

Ijtihad para ulama memainkan peranan penting .

Buku-buku fatwa (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Buku-buku fatwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketika Nabi SAW masih hidup, segala persoalan yang berhubungan dengan hukum langsung dijawab oleh Rasulullah berdasarkan tuntunan wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya.

Namun, ketika Islam semakin berkembang ke berbagai penjuru dunia, masyarakat Muslim menghadapi tantangan peradaban yang semakin kompleks. Banyak masalah hukum yang mereka hadapi pada waktu itu tidak ditemukan jawabannya, baik di dalam Alquran maupun hadis.

Ushul fikih lantas muncul sebagai bentuk respons doktrin peradaban Islam untuk tantangan tersebut. Ijtihad para ulama memainkan peranan penting di situ, terutama dalam mencari jawaban berbagai persoalan yang belum pernah mereka temukan sebelumnya. Sejak itulah, ijmak (kesepakatan ulama) dan qiyas (analogi) dikenal sebagai sumber hukum Islam setelah Alquran dan hadis.

Secara sederhana, ushul fikih dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip pengambilan hukum Islam. Dalam bahasa lainnya, pakar Islam lulusan Universitas al-Azhar Mesir, Yusuf Rios (Abul Hussein), menjelaskan, ushul fikih adalah ilmu yang menjelaskan berbagai metode penelitian yang membantu manusia dalam memahami Alquran dan hadis secara sistematis.

“Sebagai muaranya, ilmu ini mengajarkan kita cara untuk memperoleh putusan yang tepat mengenai suatu perkara, apakah ia termasuk haram, makruh, wajib, mustahab, atau mubah,” ungkap Yusuf Rios dalam karyanya, Understanding Usul al-Fiqh.

Proses memahami Alquran dan hadis sebagai sumber-sumber primer hukum Islam dan penggaliannya secara sistematis itu disebut ijtihad (penelitian yang dilakukan secara independen). Sementara, orang yang melakukan ijtihad itu disebut mujtahid. Namun, dalam beberapa kasus, hasil ijtihad satu mujtahid dengan yang lainnya bisa saja berbeda-beda.

“Namun, perbedaan tersebut bukan berarti para mujtahid itu membuat kesimpulan hukum sekehendak hatinya saja, melainkan melalui proses pemahaman yang mendalam dan pendidikan  dari ulama-ulama terdahulu,” jelas Yusuf Rios.

Menurut Prof H Satria Effendi Muh Zein, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, kata al-ushul adalah bentuk jamak dari al-ashl, yang berarti landasan tempat membangun sesuatu.  Sedangkan, ulama terkemuka dari Damaskus, Suriah, Syekh Wahbah az-Zuhaili, mengartikan kata al-ashl sebagai “dalil.”

Sedangkan secara bahasa, fiqh atau fikih berarti pemahaman. “Secara istilah, fikih adalah pengetahuan tentang hukum syarak yang berhubungan dengan dengan perbuatan mukalaf (orang yang layak dibebani hukum taklif) yang dalilnya digali satu per satu,” ujar Prof Satria.

Para ulama besar memiliki pendapat masing-masing tentang definisi ushul fikih. Syekh Kamaluddin bin Himam dalam kitab Tahrir mendefinisikan ushul fikih sebagai pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fikih.

“Dengan kata lain, ushul fikih adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar'i,” ungkap Prof Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya bertajuk Ushul Fiqih. Contohnya, kata dia, ushul fikih menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.

Sedangkan, Imam al-Baidawi menyatakan, ushul fikih sebagai pengetahuan tentang dalil fikih secara umum dan menyeluruh, cara mengistinbatkan atau menarik hukum dari dalil itu, dan tentang ihwal pelaku istinbat.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement