Jumat 09 Mar 2018 11:21 WIB

Masjid Terima Sumbangan dari Non-Muslim, Bolehkah?

Ada sejumlah pendapat ulama soal masalah ini.

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Pekerja mengerjakan pembangunan masjid. (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pekerja mengerjakan pembangunan masjid. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Terima Sumbangan dari Non-Muslim, Bolehkah?

Indonesia memiliki lebih dari 800 ribu masjid yang tersebar di semua provinsi. Mayoritas masjid tersebut dibangun secara swadaya.

Masyarakat bahu membahu mendirikan mas jid dari nominal terkecil hingga yang mencapai sumbangan ratus an juta rupiah. Amat sedikit masjid yang menggantungkan diri dari pendanaan pemerintah. Ini pun membuat masjid dilatih mandiri.

Meski demikian, ada kalanya warga dari kalangan non-Muslim yang hendak menyumbang untuk pembangunan masjid. Panduan untuk membangun masjid ada pada QS at-Taubah 17-18. "Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang yang sia-sia pekerjaannya dan mereka itu kekal di dalam neraka. Hanya saja, yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari ke mudian serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan ti dak takut (ke pada siapa pun) se lain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharap kan termasuk golongan orangorang yang mendapat petunjuk. (QS at-Taubah 17-18).

Prof Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan, pen dapat al-Biqa'i menghubung kan ayat ini dengan ayat yang lalu. Di sebutkan bahwa beberapa tokoh musyrikin ditawan pasu kan Mus limin dalam Perang Ba dar. Mereka berkata kepada kaum Muslimin, "Mengapa kalian mencela kami, padahal kami memakmurkan Mas jid al-Haram, mengurus Ka'bah, memberi minum jamaah haji dan membantu kaum lemah?"

Al Biqai menjelaskan, jawabannya jika mereka ikut menganiaya kaum Muslimin, mereka pun harus diperangi. Ini terlihat dari ayat-ayat yang diturunkan. Lebih lanjut, Quraish mengungkapkan, maksud dari memakmurkan da lam ayat ini mencakup banyak aktivitas. Di antaranya, yakni membangun, beribadah dengan tekun di dalamnya, memelihara, men jaga kesuciannya, hingga mem fungsikannya sesuai dengan fungsi yang ditetapkan Allah SWT. Ayat ini menerangkan jika kaum musyrikin, tidak pantas memakmurkan masjid apa pun, termasuk Masjidil Haram.

Meski demikian, menurut Qu raish, bantuan dari orang kafir untuk memakmurkan masjid, baik dalam bentuk materi atau pikiran bukannya harus ditolak. Namun, harus dilihat apakah ban tuan tersebut sejalan dengan nilai-nilai Islam atau tidak dan apakah ia bersyarat dengan sya rat yang merugikan atau tidak.

Dalam konteks ini, mantan mufti Mesir dan pemimpin tertinggi al-Azhar almarhum Syekh Had al-Haq Ali Had al-Haq memfatwakan bahwa Allah SWT memerintahkan kita berbuat baik ke pada semua manusia. Allah pun menyuruh kita untuk bekerja sama dalam ketaatan dan kepentingan umum.

"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil/ mem beri sebagian hartamu ke pada orang-orang yang tidak me me rangi mu karena agama dan ti dak (pu la) mengusir kamu dari ne geri mu. Sesungguhnya, Allah menyu kai orang-orang yang ber laku adil."

Prof Dr Wahbah az-Zuhaili da lam kitabnya At-Tafsir al-Mu nier Juz X halaman 140-141 meng ungkapkan pendapat yang pa ling sahih (valid) bahwa orang kafir diperbolehkan membantu pembangunan masjid. Mereka di boleh kan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan pem bangunan masjid, seperti menjadi tukang batu dan tukang kayu. Karena hal ini tidak termasuk larangan yang termaktub pa da ayat dalam Surah at-Taubah itu.

Namun, orang kafir tidak boleh menjadi pengurus masjid (tak mir masjid) atau pengurus ya yasan wakaf masjid. Tapi, orang kafir diperbolehkan membangun masjid atau memberikan bantuan dana pembangunan masjid de ngan syarat hal itu tidak dijadi kan sarana untuk menimbulkan bahaya (dharar). Jika dijadikan sa rana untuk menimbulkan ba ha ya atau fitnah, hal itu dilarang karena sama dengan masjid dlirar (masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik di Madinah pada masa Rasulullah untuk me mecah belah umat Islam)".

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Ja karta pada 12 Juli 2001 pun pernah membahas hukum sumbang an non-Muslim untuk pembangunan masjid, mushala, dan pondok pesantren.

Menurut MUI DKI Jakarta, masyarakat Indonesia yang me megang teguh dasar Negara Pan casila dan UUD 1945 sangat toleran terhadap pemeluk agama lain. Mereka saling membantu dan tolong menolong, bukan hanya dalam kehidupan kemasyara kat an, melainkan juga dalam ke hidupan agama.

Salah satu bentuk nyata dari sikap saling bantu membantu dan to long menolong bangsa Indone sia adalah kesediaan kaum Mus limin Indonesia memberikan ban tuan untuk pembangunan rumah iba dah agama lain. Demikian se ba lik nya, kesediaan orang-orang non- Muslim memberikan ban tu an un tuk pembangunan masjid, musha la, pondok pesantren, dan sebagai nya. Wallahu'alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement