Jumat 23 Feb 2018 16:52 WIB

Bolehkah Menikahi Wanita Hamil?

Ada sejumlah pendapat soal ini.

Wanita hamil
Foto: pexels
Wanita hamil

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kehamilan bagi seorang istri adalah kabar yang ditunggu-tunggu. Namun, jika kehamilan akibat perbuatan zina, yang diperoleh hanyalah aib. Baik kepada si pelaku maupun buat keluarga.

Demi menghindarkan stigma negatif di masyarakat, tak jarang kedua insan pelaku zina tersebut dinikahkan. Seiring meningkatnya kasus zina di kalangan anak muda, kejadian hamil di luar nikah seolah bergeser dari aib menjadi hal yang biasa. Tak jarang, saat menggelar pernikahan, mempelai wanita pun tak malu menunjukkan kehamilannya. Lalu bolehkah menikahi wanita yang sedang hamil?

Wanita dalam kondisi hamil tanpa suami ada dua kelompok. Pertama, wanita yang hamil karena ditinggal mati suami atau dicerai suami dalam keadaan hamil. Bagi wanita hamil dalam kondisi seperti ini, haram baginya untuk dinikahi lelaki lain hingga masa idahnya berakhir. Majelis Tarjih Muhammadiyah menyebut masa idah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya atau dicerai adalah hingga melahirkan.

Kaidah ini didasarkan pada Alquran surah at-Thalaq ayat 4. "Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu idah mereka ialah  sampai mereka melahirkan kandungannya ...."

Majelis Tarjih Muhammadiyah pada seminar tahun 1986 menyebut seorang lelaki yang ingin menikahi wanita dalam keadaan hamil harus melalui akad setelah wanita tersebut melahirkan.

Kelompok kedua, wanita yang tidak bersuami hamil akibat perbuatan zina. Ulama berbeda pendapat antara bolehnya menikahi wanita dalam keadaan hamil di luar nikah atau menunggu hingga ia melahirkan.

Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam maklumat yang sama menyatakan seorang laki-laki boleh menikahi wanita yang hamil akibat perbuatan zina jika laki-laki tersebut adalah orang yang menghamilinya.

Dasar dari pendapat ini adalah hadis Rasulullah SAW. "Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya ke ladang orang lain (HR Abu Dawud). Hadis ini menerangkan seorang wanita boleh melakukan akad nikah dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya. Karena wanita ini ibaratnya telah menjadi kebun yang ditanami bibit laki-laki itu. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah keterangan ini bukan berarti zina dilegalkan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 disebutkan, seorang wanita hamil di luar nikah bisa dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut juga dijelaskan bisa dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya. Kemudian, dalam perkawinan tersebut, juga tidak diperlukan akad nikah ulang jika sudah melahirkan.

Dasar hukum yang dipakai adalah kitab al-Bajuri yang menyebut seorang lelaki menikahi perempuan yang hamil karena zina sah hukumnya. Boleh me-wathi sebelum melahirkannya.

Beberapa ulama mensyaratkan tobat sebagai syarat wajib yang dipenuhi. Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa menyebut menikahi perempuan pezina haram hukumnya hingga ia bertaubat. Baik yang menikahi itu lelaki yang menzinahinya atau bukan."

Ulama juga terbelah dalam syarat tobat ini. Ulama dari kalangan Mazhab Hambali, Abu Qatadah termasuk Ibnu Taimiyah mensyaratkan wajibnya bertobat. Sementara ulama Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanafi tidak mewajibkan tobat.

Selain itu, juga ada perbedaan terkait bolehnya menikahi wanita hamil di luar nikah tanpa menunggu masa idah. Imam Syafi'i dan Hanafi membolehkan akad nikah sebelum wanita itu melahirkan. Namun, keduanya berbeda pendapat tentang diperbolehkannya dipergauli setelah akad.

Imam Syafi'i membolehkan wanita tersebut dipergauli setelah akad, baik laki-laki yang menikahinya adalah yang menghamilinya atau bukan. Sementara Imam Abu Hanifah hanya memperbolehkan wanita itu dipergauli jika yang menikahinya adalah yang menzinahinya. Jika bukan, lelaki tersebut boleh melangsungkan akad namun menunggu wanita tersebut melahirkan untuk mempergaulinya. n

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement