Selasa 06 Feb 2018 20:48 WIB

Memakai Baju Impor dari Non-Muslim, Bolehkah?

Persoalan ini pun konon pernah menjadi bahasan hangat di kalangan ahli fikih klasik.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Petugas Bea Cukai menyita impor baju bekas yang diduga menngandung virus
Foto: Republika
Petugas Bea Cukai menyita impor baju bekas yang diduga menngandung virus

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Yang perlu diperhatikan dari baju impor ialah soal kesuciannya. Jika ragu, maka hendaknya membersihkannya terlebih dahulu.

Maraknya impor dan terbukanya hubungan dagang dengan negara luar memberikan peluang masuknya komoditi busana dari mancanegara. Tak sedikit negara asing non-Muslim yang mengekspor barang berupa pakaian ke negara-negara dengan mayoritas penduduknya Muslim.

Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashal fi Ahkam al-Marati, mengatakan, pada satu sisi memang kondisi ini membangkitkan perekonomian masyarakat. Tetapi pada sisi yang lain, serbuan busana impor dari kawasan-kawasan non-Muslim itu menimbulkan pertanyaan besar, yakni seputar boleh tidaknya mengenakan pakaian tersebut? Persoalan ini pun konon pernah menjadi bahasan hangat di kalangan para ahli fikih klasik.   

Prof Zaidan menguraikan, para ulama membedakan jawaban atas permasalahan ini ke dalam dua kategori besar. Kategori pertama, yaitu busana tersebut adalah baju baru dan bukan bekas. Untuk busana impor jenis yang pertama ini, para ulama sepakat hukumnya boleh.

Ibnu Qudamah mengungkapkan kesepakatan itu dalam kitabnya yang berjudul Al-Mughni. Tokoh yang bermazhab Hanbali itu menyebutkan, tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tetang kebolehan menggunakan busana impor dari non-Muslim.

Rasulullah SAW dan para sahabat konon juga memakai pakaian yang dijahit oleh para non-Muslim. Busana impor waktu itu banyak yang didatangkan dari Mesir, Damaskus, dan Yaman. Wilayah-wilayah tersebut saat itu belum mengenal Islam.

Sedangkan, untuk kategori yang kedua, yakni busana bekas yang diimpor dari negara-negara non-Muslim. Menurut Ibnu Quddamah, jika busana itu bukan baju atau pakaian yang dikenakan di badan maka tidak jadi soal memakainya. Hukum baju bekas itu pun suci. Misalnya, aksesoris yang dikenakan di kepala, seperti topi, selendang, dan syal.

Imam Ahmad mengemukakan, jika busana itu berupa celana atau baju bagian dalam dan bawah maka lebih baik yang bersangkutan mengulangi shalatnya dengan pakaian yang berbeda. Ibnu Quddamah mengomentari pendapat Ahmad tersebut.

Ada dua opsi penafsiran pandangan Imam Ahmad tersebut, yaitu tetap wajib mengulangi shalat. Ini merupakan pandangan yang diamini oleh al-Qadhi. Sedangkan, menurut Abu al-Khathab, jika yang bersangkutan mengenakan baju impor dari negara-negara non-Muslim maka tidak perlu mengulangi lagi. Ini karena hukum asalnya ialah suci. Karena itu, hukum awal itu tidak bisa bergeser lantaran munculnya keraguan. Imam Malik juga memiliki pendapat yang sama.

Menurut tokoh pendiri Mazhab Maliki ini, sah mengenakan baju tersebut. Jika ia tetap mengenakannya untuk shalat maka hendaknya ia mengulangi ibadahnya tersebut selama masih ada waktu. Bila waktunya habis maka tidak perlu mengulang.

Dalam pandangan  Imam Syafii, menggunakan baju bekas yang diimpor dari negara-negara non-Muslim hukumnya makruh. Bahkan, yang berasal dari ahli kitab sekalipun. Jika mengenakan aksesorinya pun makruh. Maka, pakaian dalam ataupun busana bagian bawah lebih makruh hukumnya. Namun, ia menggarisbawahi ketika yang bersangkutan yakin betul akan kesucian pakaian itu, tak jadi soal mengenakannya. Dalam konteks dan kondisi ini, hukumnya sama dengan baju Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement