Selasa 30 Jan 2018 11:52 WIB

Menumpuk Jenazah, Bolehkah?

Ada sejumlah catatan ulama soal ini.

Membongkar kuburan (ilustrasi).
Foto: Antara
Membongkar kuburan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bagaimana dengan menumpuk jenazah di dalam satu lubang? Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta pada 10 Mei 2011 menjelaskan hukum menimpa jenazah berdasarkan surat pertanyaan yang diajukan Dinas Pemakaman Umum DKI Jakarta.

Menurut MUI, dalam kondisi normal dan tersedianya lahan pemakaman yang cukup, haram hukumnya menimpa jenazah lama dengan jenazah baru karena dapat mencederai kehormatan jenazah lama di samping menimbulkan bau tak sedap saat penggalian.

Dijelaskan dalam kitab Mughni al- Muhtaj, Ulama menyepakati hukum haram menimpa jenazah yang lama dengan jenazah yang baru karena dianggap mencederai kehormatan jenazah yang lama, di samping akan menimbulkan bau yang tidak sedap.

Meski demikian, MUI memberi catatan, dalam kondisi darurat diperbolehkan memindahkan mayat (kuburan). Hukum menimpa jenazah lama dengan jenazah yang baru diperbolehkan.

Dengan catatan, seluruh tulang belulang jenazah yang lama diyakini sudah hancur atau telah menyatu dengan tanah dan jenazah itu bukan ulama atau seorang wali yang sudah masyhur.

MUI pun mengutip keterangan dalam kitab al-Hawasyi al-Syarwani, sebagai berikut: Menimpa jenazah yang satu dengan jenazah yang lain diperbolehkan. Dijelaskan dalam kitab al-Ziyady, letak keharamannya ?

menurut Imam Ramly kalau tidak ada darurat. Kalau ada darurat, sejak awal diperbolehkan menimpa atau menggabung beberapa jenazah. Perkataanya, Keharaman itu juga berlaku ketika tulang belulang jenazah belum hancur seluruhnya memberikan pemahaman, menggali kuburan untuk (penumpukan jenazah) kalau tulang belulang jenazah telah hancur semuanya. Kebolehan ini dikecualikan (tidak berlaku)  bagi jenazah orang alim atau jenazah wali yang sudah masyhur. Maka, kuburannya haram secara mutlak untuk digali.

Tenggang waktu seluruh tulang- belulang jenazah dipastikan sudah hancur atau telah menyatu dengan tanah, antara satu daerah/negara dan daerah/negara lain ukuran waktunya bisa berbeda-beda tergantung iklim, cuaca, keadaan (struktur)  tanah, dan lain-lain. Untuk mengukur (mengira-ngira) bahwa seluruh tulang belulang jenazah sudah hancur, perlu diteliti ahli geologi (ahlikhibrah). Juga dihukumi haram, menimpa jenazah yang satu dan jenazah yang lain meskipun dari jenis kelamin yang sama, ketika diyakini tulang-belulang jenazah belum hancur seluruhnya. Kepastian tulang belulang jenazah sudah hancur didasarkan pada pendapat orang (pakar) pertanahan (ahli geologi).Ada syarat yang harus diepnu

MUI juga memberi catatan, apabila dalam proses penggalian kuburan untuk menimpa jenazah yang lama dengan jenazah yang baru sebagian tulang jenazah yang lama kelihatan, penggalian tidak boleh diteruskan, kecuali darurat.

Misalnya, tidak ada lahan pemakaman yang lain. Namun, jika sebagian tulang belulang jenazah yang lama kelihatan sebagian setelah proses penggalian selesai, tulang-belulang yang lama diletakkan di sebelah jenazah yang baru, atau ditaruh di atasnya dengan dipisah tanah atau papan.  Wallahu'alam. 

 

(Baca: Menyoal Pembongkaran Kuburan)

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement