Jumat 19 Jan 2018 14:06 WIB

Bolehkah Ibu Hamil Menjamak Shalat?

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjamak shalat karena alasan keberatan dan ketidakberda ya an pada saat menetap atau sedang tidak bepergian

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Ibu hamil
Foto: corbis.com
Ibu hamil

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --Kondisi hamil tua bagi keba nyakan kaum perempuan sa ngat melelahkan. Saat usia kandungan mendekati masamasa melahirkan, tenaga menjadi terkuras. Hal ini berdampak pada kurangnya kemampuan beraktivitas. Bah kan, ia terpaksa harus meninggal kan secara total pekerjaan yang sebelumnya kerap ia lakukan. Misalnya saja dalam soal aktivitas duniawi, wa nita karier memilih mengambil cuti menjelang kehamilannya.

Ada banyak lagi rutinitas yang mendesak ditinggalkan selama hamil. Lantas bagaimana dengan urusan shalat lima waktu? Bolehkan ibu hamil meninggalkan shalat dengan alasan hamilnya? Bila tidak, bolehkah menjamak shalat agar lebih mudah dan tak memberatkannya?

Perintah shalat adalah kewajiban mutlak yang tak boleh diabaikan. Bagi Muslim atau Muslimah yang telah akil dan balig berkewajiban menunaikan perintah tersebut apa pun kondisinya sesuai dengan batas kemampuan. “Se sungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orangorang yang beriman.” (QS an- Nisa:103).

Dengan demikian, menurut Yahya bin Syaraf An Nawawi dalam kitab Rau- dlat At Thalibin, ulama bersepakat bah wa wanita hamil tidak boleh me ning- galkan shalat lima waktu. Memang, sekali lagi, adakalanya para ibu hamil mendapatkan kesulitan. Mereka akan kesusahan, mulai dari mengambil air wudhu hingga saat pelaksanaan shalat. Karena itulah, muncul diskusi di ka lang an para ulama, boleh atau tidakkah wanita hamil menjamak shalat.

Permasalahan ini pada dasarnya kembali pada kaidah tentang boleh atau tidaknya menjamak karena alasan keberatan (masyaqqah) yang menyebabkan lemah (dha’f). Hamil adalah bentuk dari keberatan dengan akibatnya berupa ketidakberdayaan perempuan hamil. Bila tetap dipaksakan sha lat dengan segala ketentuannya seperti keadaan normal maka ini berarti memberikan beban di luar batas kemampuannya.

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjamak shalat karena alasan keberatan dan ketidakberda ya an pada saat menetap atau sedang ti dak bepergian. Pendapat pertama me ngatakan, ibu hamil tidak boleh menjamak shalat dengan alasan tersebut.

Pandangan ini disampaikan oleh para ahli fikih dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan sebagaian besar pakar fikih. Di kalangan Mazhab Hanafi, secara khusus, sebagaimana dinukil Ibn Al Hammam dalam Syarah Fath Al Qadir, selain di dua tempat, yaitu Arafah dan Muzdalifah, tak boleh menjamak shalat bagi ibu hamil.

Sedangkan, menurut kelompok kedua, ibu hamil diperbolehkan menjamak shalat karena dua alasan di atas. Pendapat ini banyak disuarakan oleh ulama dari Mazhab Hanbali dan Al Qadhi Husain. Sebagian ulama hadis juga memilih pendapat ini. Akan tetapi, mereka memberikan satu syarat, yaitu tidak menjadikan dua alasan, yaitu masyaqqahdan dha’f, sebagai pembenaran untuk selalu menjamak shalat.

Adapun dalil yang dijadikan dasar oleh kelompok pertama, antara lain, hadis riwayat Jabir bin Abdullah. Da lam hadis tersebut dijelaskan, Jibril shalat dan menjadi imam bagi Rasulullah SAW selama dua hari berturutturut. Usai shalat, Jibril menjelaskan kepada Rasulullah tentang waktu pe laksanaan masing-masing shalat dan tak ada keterangan tentang boleh atau tidaknya didahulukan atau diakhirkan waktunya.

Sedangkan, kelompok yang kedua menggunakan hadis riwayat Ibnu Abbas dengan perawi salah satunya Habib bin Abi Tsabit. Hadis yang dinukil dalam Kitab Sahih Muslim tersebut mengisahkan bahwa konon Rasulullah SAW pernah menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya. Hal itu dikerjakan Rasulullah saat berada di Madinah dalam situasi normal. Bukan dalam keadaan berperang ataupun tengah turun hujan.

Lantas, Ibnu Abbas pun ditanya apa alasan Rasulullah menjamak shalatshalat tersebut. Ia pun menjawab bah wa apa yang ditempuh oleh Rasulullah bertujuan agar tidak memberatkan umatnya. Imam Ahmad bin Hanbal pun kemudian mengomentari hadis riwayat Ibnu Abbas tersebut. Menurutnya, ketentuan ini merupakan dispensasi bagi mereka yang sakit dan menyusui. Termasuk dalam kategori ini ialah mereka yang mendapati kesulitan dan ketidakberdayaan. Dan, kondisi hamil, termasuk satu dari ke sekian bentuk ke su litan berhak atas rukhsah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement