Senin 20 Nov 2017 15:15 WIB

Legitimasi Fatwa dalam Bentang Sejarah

Rep: Marniati/Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Kodifikasi fatwa (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Kodifikasi fatwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fatwa, menurut bahasa, berarti jawaban mengenai suatu kejadian (peristiwa). Sedangkan, pengertian fatwa, menurut syariat, ialah menerangkan hukum syariat atas persoalan tertentu sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, perseorangan, maupun kolektif.

Fatwa bisa diartikan sebagai penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, sehingga kaedah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihad).

Satu-satunya cara mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad dan tidak ada cara lain. Oleh karena itu, seorang mufti (pemberi fatwa) tidak ubahnya dengan seorang mujtahid yang mencurahkan segala kemampuannya untuk menemukan hukum dari sumber hukum Islam, yakni Alquran dan hadis.

Pada masa Rasulullah, Nabi yang bertindak sebagai mufti. Fatwa muncul didasarkan pada suatu peristiwa yang menyerukan hukum atau timbul karena adanya pertanyaan atau sengketa. Bahkan, fatwa juga muncul atas permintaan Nabi.

Untuk itu, Allah SWT menurunkan ayat-ayat Alquran untuk menjelaskan hukum yang diinginkan dan disampaikan kepada umat-Nya. Sehingga, ketika teman-teman menghadapi masalah yang memerlukan fatwa, mereka langsung meminta solusinya kepada Nabi.

Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Fatwa, Antara Ketelitian dan Kecerobohan, pada masa Rasulullah sering kali beliau menerangkan hukum suatu masalah secara langsung tanpa didahului pertanyaaan dari seseorang.

Biasanya, hal seperti ini dilakukan untuk menghilangkan kesalahpahaman, membetulkan pengertian, mengajarkan kepada yang tidak tahu, memantapkan hati orang yang sedang menuntut ilmu, mengkhusukan yang umum, atau memberi qayid (ketetapan) bagi yang mutlak (tidak terikat).

Ada kalanya juga sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan dan yang demikian ini banyak sekali jumlahnya. Di antaranya, pertanyaan Abu Musa al-Asy'ari tentang minuman yang dibuat di Yaman yang disebut al-biq'u yang berasal dari madu dan dijadikan minuman keras dan al-mizru yang terbuat dari jagung dan gandum hingga menjadi minuman keras. Rasulullah menjawab, semua yang memabukkan (menghilangkan kesadaran akal) adalah haram.

Selanjutnya, Thariq bin Said juga bertanya kepada beliau tentang khamar. Beliau pun pernah ditanya tentang seseorang yang berperang dengan tujuan untuk menunjukkan keberaniannya, orang yang berperang karena fanatik dengan kaumnya dan orang yang berperang karena ingin disanjung orang lain.

Fatwa-fatwa Rasulullah terhadap para penanya dalam sebagian besar persoalaan syariat dan berbagai persoalan hidup sangatlah luas, banyak, dan beraneka ragam yang tidak akan menimbulkan keraguan bagi orang yang ingin mengkaji sunah beliau. Ibnul Qayyim banyak menyebutkan fatwa Rasulullah dalam kitabnya yang telah ia ringkas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement