Jumat 17 Nov 2017 16:00 WIB

Bolehkah Muslimah Menjadi Imam Shalat?

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Muslimah/ilustrasi
Foto: muslimgirl.net
Muslimah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Masih ingat Amina Wadud? Tokoh feminis asal Afrika Selatan ini pernah membuat berang umat Muslim seluruh dunia dengan shalat Jumat kontroversialnya. Di situ, dia bertindak sebagai khatib sekaligus imam, yang di antara 100-an jamaahnya terdapat pula kaum pria.

Kegiatan shalat Jumat heboh itu berlangsung 18 Maret 2005. Seolah ingin membuat sensasi lebih besar, dia dan kelompoknya shalat di Gereja Katedral Sundram Tagore Gallery 137 Grene Street, New York, Amerika Serikat (AS).  Sebelumnya, azan juga dikumandangkan oleh seorang wanita, tanpa penutup kepala. Kegiatan ini disponsori oleh Muslim Progressive, sebuah kelompok Islam Liberal berkedudukan di AS.

Kontan, aksi Amina yang mendapat liputan luas dari media massa Barat ini memicu kemarahan dunia Islam. Kecaman muncul dari mana-mana, termasuk dari sejumlah tokoh ulama terkemuka. Namun, penulis buku Quran and Woman:Rereading the Sacred Text from a Womans Perspective itu bergeming. Dia kembali menggelar shalat Jumat serupa, kali ini di aula Muslim Educational Center, Wolfson College, Oxford, sekaligus menjadi pembuka konferensi Islam dan Feminisme.

Kemarahan umat Islam kian memuncak, bahkan ada yang menganggap aksi tersebut sebagai serangan terhadap Islam. Mufti Besar Arab Saudi, Abdul Aziz al-Shaikh menegaskan bahwa Amina Wadud adalah musuh Islam yang menentang hukum Tuhan. Ketua Dewan Fatwa Eropa dan Ketua Persatuan Ulama Dunia, Syekh Yusuf al-Qardhawi, mengategorikan seorang wanita yang menjadi imam dan khatib shalat Jumat sebagai perbuatan bid'ah munkarah (perbuatan mungkar yang diada-adakan).

Syekh Yusuf Qardawi menambahkan, sejak 14 abad yang lalu, dalam sejarah Islam tidak pernah ada seorang wanita shalihah mengimami kaum lelaki. ''Dan hal ini telah menjadi ijma,'' ujarnya menegaskan.

Ijma Sahabat

Pelarangan seorang wanita menjadi imam shalat bagi kaum pria, memiliki dasar yang kuat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya ketika menyikapi polemik ini, memerinci sejumlah landasan syariat terkait imam wanita tersebut.

Di antaranya surat an Nisaa ayat 34, ''Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) dari sebahagian yang lain (wanita)''.

Terdapat pula hadis yang menyebutkan, ''Janganlah jadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki.'' (HR Ibnu Majah), serta hadis dari Daruqutni saat Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya.

Rujukan lain adalah ijma shahabat bahwa di kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi imam shalat di mana di antara makmumnya adalah laki-laki. Para shahabat berijma para wanita boleh menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita, seperti dilakukan Aisyah ra dan Ummu Salamah ra.

Sehingga, setelah menelaah aspek-aspek tadi, fatwa tertanggal 21 Juli 2005 itu menetapkan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. ''Dan wanita menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah,'' tandas Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin.

Pendapat senada diungkapkan Syekh Sayed Tantawi, Imam Besar Masjid al-Azhar, yang menekankan bahwa wanita boleh menjadi imam shalat bagi wanita lain, tetapi tidak meliputi atau untuk kaum pria.

Sedangkan di kalangan empat mazhab, muncul dua pandangan. Para ulama Maliki menyatakan wanita tetap tak boleh menjadi imam, baik dalam shalat fardhu ataupun sunnah, baik makmumnya laki-laki atau pun perempuan.  Adapun ulama Hanafi membolehkan wanita menjadi imam bagi sesamanya, dan shalat dari kaum wanita yang menjadi makmum itu sah sekalipun makruh tahrim.

Pada aspek lain, Ibrahim Muhammad al Jamal melihat, Aisyah RA telah memberikan contoh tata cara ketika wanita mengimami shalat. ''Dilakukan dengan syarat imamnya jangan berdiri di depan, tapi tetap dalam shaf mereka,'' kata penulis buku Fikih Wanita ini.

Apabila jamaahnya hanya satu orang, maka posisi imam sejajar dengan makmum. Makmum berada di sebelah kanan imam. Posisi ini sama dengan saat seorang laki-laki berjamaah dengan seorang laki-laki.

Hal senada diungkapkan Syekh Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah. Menurutnya, seorang perempuan hanya bisa menjadi imam untuk sesama perempuan. ''Aisyah RA sering menjadi imam untuk kaum wanita. Dia berdiri bersama mereka dalam satu barisan.,'' tutur Syekh Sayyid Sabiq. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement