Selasa 06 Sep 2016 13:42 WIB

Air Daur Ulang, Halalkah?

Rep: c62/ Red: Agung Sasongko
Air. Ilustrasi
Foto: Google
Air. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiap hari kebutuhan air bersih terus bertambah, sementara sumber-sumber air bersih terus mengering. Kemajuan teknologi salah satunya dengan daur ulang air memberi harapan sumber air bersih alternatif.

Muncul pertanyaan, apakah air yang berasal dari limbah yang bercampur kotoran, najis, dan komponen lain ini halal digunakan?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menerbitkan fatwa tentang penggunaan air daur ulang. Dalam Fatwa No 2 Tahun 2010 ini dijelaskan bahwa yang masuk kaidah air daur ulang adalah air hasil olahan rekayasa teknologi dari air yang telah digunakan (mus'tamal) terkena najis (mutanajjis). Bisa juga air yang telah berubah salah satu sifatnya, yakni rasa, warna, dan bau sehingga dapat dimanfaatkan kembali.

Komisi Fatwa MUI menghukumi air daur ulang termasuk air yang suci lagi menyucikan (thahir muthahhir) sepanjang diproses sesuai kadiah fikih. Kaidah fikih di sini adalah salah satu dari tiga cara, yakni thariqat an-nazh. Thariqat an-nazh berarti memproses dengan cara menguras air yang terkena najis sehingga tersisa air yang aman dari najis.

Kedua, thariqah al-mukatsarah, yakni dengan menambahkan air suci menyucikan pada air yang terkena najis hingga mencapai volume paling minimal dua kulah (270 liter) serta unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air tersebut berubah sudah hilang.

Ketiga, thariqah taghyir, yaitu mengubah air yang terkena najis atau yang berubah sifatnya dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat air menjadi suci lagi menyucikan. Syaratnya volume air lebih dari dua kulah dan alat bantu yang digunakan harus suci.

Jika sudah melalui prosedur sesuai kaidah di atas, air tersebut boleh digunakan untuk berwudhu, mandi, menyucikan najis, serta halal dikonsumsi selama tidak membahayakan kesehatan.

Wakil Ketua Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Oesmena Gunawan mengatakan, fatwa MUI tersebut menjadi dasar sertifikasi halal bagi perusahaan yang mengajukan sertifikasi untuk air daur ulang.

Oesmena mencontohkan, saat ini sebuah perusahaan swasta yang mengelola kawasan niaga di Sudirman sudah mengajukan sertifikasi halal untuk air daur ulang.

Saat diaudit, air daur ulang diambil dari berbagai sumber yang telah digunakan oleh perumahan, hotel, dan perkantoran. Agar air tidak menjadi mubazir, pihak pengelola melakukan penampungan untuk dibersihkan dengan berbagai macam proses kimia dan teknologi terkini.

Air sisa pemakaian yang ditampung itu cukup banyak sehingga melebihi dua kulah. Oesmena menjelaskan, jika air sudah lebih dari dua kulah dan hilang bau, rasa, dan warna, air tersebut sudah bisa diterbitkan sertifikasi halalnya. “Air itu sudah dianggap memenuhi standar suci dan bisa menyucikan,” katanya saat dihubungi Republika, Rabu (24/3).

Menurut Oesmena, proses sertifikasi halal air daur ulang itu tidak memakan waktu lama. Komisi Fatwa MUI hanya meminta data apa yang disebut air daur ulang itu dan selanjutnya LPPOM MUI memberikan tata caranya dalam proses pembuatan air daur ulang. “Seperti memberikan prosedur penyaringan dan sebagainya sehingga menghasilkan air tidak berbau berasa dan tidak berwarna,” katanya.

Air daur ulang ini, kata Oesmena, selain digunakan untuk kegiatan sanitas, juga dapat digunakan sebagai bahan konsumsi untuk keperluan sehari-hari. “Saya kira untuk konsumsi tidak masalah kalau sudah dinyatakan halal,” katanya. Namun, Osmena mengingatkan sebelum dikonsumsi, air harus tetap dimasak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement