Kamis 19 Oct 2017 16:30 WIB

Menonton Sinetron Hingga Lupa Waktu

Seorang ibu menonton televisi (ilustrasi)
Foto: Muhammad Arif Pribadi/Antara
Seorang ibu menonton televisi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sinetron menjadi salah satu sajian televisi yang mendapatkan peringkat tertinggi di Indonesia. Banyak kalangan yang menyukai sinetron sebagai sarana hiburan. Bahkan, sebuah sinetron yang digemari bisa memiliki episode hingga ratusan.

Salah satu yang banyak menjadi penikmat sinetron adalah kalangan perempuan. Terlebih, saat ini banyak sinetron impor dari negara-negara, seperti Korea, India, dan Turki, yang menghiasi layar kaca setiap hari. Lalu, bolehkah seseorang menghabiskan berjam-jam waktunya menonton sinetron yang kerap memengaruhinya  dalam kehidupan nyata?

 

Soal sinetron sebagai tayangan televisi sendiri, hukum dalam fikih tergantung dari tujuan dibuatnya  sinetron tersebut. Syekh Yusuf Qaradhawi berpendapat, tayangan televisi kedudukannya sama dengan radio, koran, dan majalah, yakni sebatas media.

Segalanya bergantung pada tujuan dan materi acaranya. Seperti halnya pedang, di tangan mujahid ia adalah alat untuk berjihad; dan bila di tangan perompak, maka pedang itu merupakan alat untuk melakukan tindak kejahatan.

Tayangan televisi, termasuk sinetron, papar Syekh Qaradhawi, bisa menjadi media pembangunan dan pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan kemasyarakatan. Namun, di sisi lain, tayangan televisi dapat juga menjadi alat penghancur dan perusak. Semua itu kembali pada materi acara dan pengaruh yang  ditimbulkannya.

Syekh Yusuf Qaradhawi menyarankan agar setiap Muslim dapat mengendalikan diri terhadap media-media  seperti ini sehingga dia menghidupkan televisi jika acaranya berisi kebaikan dan mematikannya bila berisi keburukan.

Melalui media ini, seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita dan acara-acara keagamaan, pendidikan, pengajaran, atau acara lainnya yang tidak mengandung unsur keburukan. Dengan begitu, dalam hal ini, anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah dari suguhan hiburan yang menyenangkan hatinya atau dapat memperoleh manfaat dari tayangan acara pendidikan yang mereka saksikan.

Soal konten sinetron, Syekh Yusuf Qaradhawi mewanti-wanti agar tidak menonton sinetron yang bertentangan dengan akhlak dan akidah Islam. Misal, sinetron tersebut mengajarkan pacaran, balas dendam, dongeng khayal yang merusak akhlak.

Selain itu, terlalu banyak menghabiskan waktu di depan televisi juga tidak baik. Media televisi saat ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan akhlak. Jika tayangannya melenakan seseorang dan memiliki dampak buruk, cukuplah mematikan televisi menjadi solusi praktisnya.     

Ustaz Bachtiar Nasir juga mengingatkan tentang tayangan yang bisa melenakan. Sinetron yang di dalamnya terdapat hal-hal yang dilarang Allah, sebaiknya ditinggalkan.

Misalnya, perempuan berpakaian minim, perkataan keji, bahkan terkadang diselipkan budaya dan pemikiran yang bertujuan menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam dan mengubah identitas dan karakternya. Apalagi, jika menonton sinetron hanya untuk menghabiskan waktu saat Ramadhan. Hal ini tentu jauh dari pesan Ramadhan untuk memperbanyak amal.

Soal sinetron juga menjadi tantangan tersendiri bagi sineas Muslim untuk memproduksi sinetron yang berkualitas. Ada beberapa catatan soal sebuah sinetron bisa dikatakan sinetron yang Islami. Pertama, soal cerita.

Cerita sebuah film Islami tidak harus melulu tentang sejarah nabi atau para sahabat. Juga, tidak harus film-film berbahasa Arab dengan kostum serban dan latar padang pasir. Cerita bisa saja tentang potret masyarakat dengan kehidupan nyata mereka sehari-hari yang lekat dan kental dengan dakwah dan visi Islam.

Soal kostum dan aurat pemain juga perlu mendapat perhatian. Meski sebuah cerita menuntut adegan atau peran tokoh antagonis atau yang tidak Islami, bukan berarti menampilkan wanita dan auratnya menjadi boleh.

Kalaupun harus muncul sosok wanta, seharusnya wanita yang menutup aurat dengan tidak mengekspose kecantikannya atau lemah gemulai sosoknya. Hadirnya sinetron Islami yang berkualitas diharapkan bisa menjadikan media yang awalnya netral menjadi positif untuk akhlak sekaligus hiburan jiwa. Allahu a'lam.

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement