Rabu 29 Feb 2012 15:06 WIB

Wanita Menjadi Saksi

Konferensi Pertama Perempuan Parlemen Anggota OKI
Foto: antara
Konferensi Pertama Perempuan Parlemen Anggota OKI

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Prof DR H Fauzul Iman MA

Di era reformasi ini, bangsa Indonesia boleh berbangga karena telah banyak wanita yang terlibat dalam tugas membangun bangsa. Di antara mereka ada yang menjadi menteri, pengusaha, hakim, politisi, pengamat, dai, dan polisi. Keterlibatan para wanita dalam suatu posisi ini, menurut ajaran agama, dipandang telah menduduki posisi sebagai saksi di tengah umat/syuhada ala an-nas (QS 22:78).

Berdasarkan ayat ini, baik laki-laki maupun wanita, diperkenankan untuk menjadi saksi sebagai pemimpin dan penyeru yang benar dan adil guna memperbaiki kehidupan umat. Raghib al-Ashfihani dalam bukunya Mu’jam Mufradat Alfadz al-Quran menjelaskan pengertian saksi sebagai sosok yang hadir untuk menyaksikan sesuatu, baik dengan penglihatan maupun dengan pemikiran cermat (benar). Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menjadi saksi sebagai pemimpin, baik laki-laki maupun wanita, harus memiliki pandangan tajam, pemikiran cermat (cerdas), dan sikap yang jujur (adil). Sarat ini wajib dimilki oleh setiap saksi karena ia harus melihat, menginformasikan, dan merubah ketimpangan yang terjadi di lapangan dengan teliti, benar, dan jujur.

Lalu, bagaimana dengan para wanita kita yang kini berada pada posisi penting? Sudahkah mereka menunjukkan kesaksian sikap dan pandangannya dengan baik di tengah masyarakat? Apakah kesaksian para wanita pada posisi strategis telah benar-benar menjadi saksi untuk melakukan perubahan terhadap ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat?

Dari sisi kuantum kita bangga terhadap wanita kita yang berperan pada posisi strategis telah bertambah dibanding dengan era sebelumnya. Akan tetapi, dari sisi kualitas, akhir-akhir ini kita prihatin terhadap sebagian wanita yang tidak lagi berdaya menunjukkan posisi strategisnya sebgai saksi umat yang cermat, adil dan jujur. Para wanita yang diharapkan melakukan perubahan bangsa dari segala krisis yang melanda malah kini mereka menjadi bagian yang membuat krisis itu sendiri. Isu-isu yang tidak sedap kepada para wanita yang berposisi penting berupa keterlibatannya pada kriminalitas korupsi telah mencoreng citra wanita sebagai ibu pelembut kedamaian dan penjaga moral bangsa.

Para wanita itu kini terseret ke sentrum perbincangan pejoratif yang ujung-ujungnya mereka tertuduh memasuki ranah hukum peradilan. Padahal, posisi penting yang diraihnya hasil perjuangan letih ketika mereka menuntut kuota wanita di lembaga perwakilan rakyat. Bahkan, tidak jarang perdebatannya menyangkut gender telah mengundang ketegangan yang meradang antara pemkir modern dengan pemikiri fanatic. Setelah posisi kuota itu kini setengahnya direbut ternyata dijungkirkan kembali secara sia-sia oleh segelintir wanita “penting” yang tidak lagi berdaya meneguhkan kesaksian moralnya dengan jujur dan adil di tengah bangsa.

Inikah sebenarnya pertanda kelemahan wanita karena kodratnya yang cepat melimbung dalam kepanikan. Lalu, ia begitu saja menyerah dan terpelanting pada situasi terburuk sehingga harus berurusan dengan hukum demi mengejar kepuasan sesaat yang menyilaukan. Inikah model wanita yang telah mencederai sederet perjuangan panjang wanita Indonesia yang dengan darah dan keringatnya telah memperjuangkan bangsa dari ketertindasan.

Para Wanita yang diharapkan menjadi penyejuk laki-laki (suami) dan anak-anaknya kini malah sebagian dari mereka berlomba dengan laki-laki melakukan kejahatan korupsi bersama. Na'udzubillah. Wallahu a’lam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement