Selasa 22 Aug 2017 17:00 WIB

Begal Motor dalam Fikih Islam

Petugas menunjukkan barang bukti dan senjata tajam pelaku aksi begal yang tergabung dalam Geng Motor AS 378 berinisial AA dan MR diamankan di Polres Metro Bekasi Kota, Selasa (11/4).
Foto: Republika/Aziza Fanny Larasati
Petugas menunjukkan barang bukti dan senjata tajam pelaku aksi begal yang tergabung dalam Geng Motor AS 378 berinisial AA dan MR diamankan di Polres Metro Bekasi Kota, Selasa (11/4).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Belakangan kasus begal motor sempat meresahkan warga. Maraknya gangguan kejahatan di jalanan tidak hanya mendapat ancaman pidana secara hukum positif negara. Hukum Islam pun menyoal tindak jarimah (kriminal) ini sebagai kejahatan serius.

Dalam fikih Islam, kejahatan begal diistilahkan dengan hirabah. Secara istilah, hirabah mendefinisikan sekelompok manusia yang membuat keonaran, pertumpahan darah, merampas harta, merampas kehormatan, merampas tatanan, serta membuat kekacauan di muka bumi. Sedangkan dalam kitab Fathu al-Qarib al-Mujib, Abu Syuja’ menyebutnya degan qath’u thariq dengan definisi yang sama. Juga masuk definisi qath’u thariq para pengganggu jalanan walau hanya sekadar menakut-nakuti.

Beberapa ulama, seperti Mas’ud dan Abidin membedakan hirabah dan qath’u thariq. Hirabah adalah perampokan, pembegalan, hingga pembunuhan yang terjadi di tengah kota. Si korban bisa meminta pertolongan kepada orang di sekitarnya.

Sedangkan qath’u thariq (penyamun, asal kata: penghambat jalan) adalah perampokan, pembegalan, hingga pembunuhan yang dilakukan di tempat sepi sehingga korban tak dapat meminta pertolongan kepada siapa pun.

Hirabah dan qath’u thariq berbeda dengan tindak pidana pencurian dengan korban tidak mengetahui bahwa barangnya telah diambil maling. Hirabah dan qath’u thariq dilakukan secara terang- terangan, bahkan sering disertai kekerasan. Muharib (pelaku hirabah) membekali diri dengan senjata tajam untuk menakut-nakuti korban. Hal ini tentu lebih serius dari sekadar pencurian biasa.

Ada empat hal teknis yang mungkin dilakukan seorang muharib. Pertama, berniat mengambil harta korban secara terang-terangan dan mengadakan in ti mi dasi, namun akhirnya ia gagal meng ambil harta dan tidak membunuh. Kedua, muharib berniat untuk mengambil harta secara terang-terangan, kemudian meng ambil harta, namun tidak membunuh. Ketiga, muharib berniat membunuh, tapi tidak mengambil harta korban. Keempat, muharib berniat mengambil harta dan membunuh pemiliknya.

Keempat hal tersebut sama-sama mensyaratkan bahwa muharib memaksa korban dengan kekuatan fisik. Abu Ha ni fah dan Ahmad menambahkan, se seorang disebut muharib jika membawa senjata tajam. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan, jika muharib memiliki kekuatan fisik, itu sudah cukup walau ia tak membawa senjata. Atau, muharib hanya membawa batu dan alatalat lain yang bisa menimbulkan ancaman, hal itu sudah cukup untuk menjeratnya dalam dakwaan sebagai muharib.

Demikian juga muharib yang terdiri atas beberapa orang, mereka semua ter masuk muharib yang dijerat dengan hu kum an pidana yang sama. Kecuali, Imam Syafi’i yang hanya menghukum otak kejahatan saja. Sedangkan orang yang membantu terlaksananya hirabah, hanya dihukum ta’zir (peringatan lisan) (Jazuli, 1997:87).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement