Rabu 14 Jun 2017 21:11 WIB

Bolehkah Sebarkan Isu?

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Media Sosial
Foto:

Agar masyarakat terhindar dari atmosfer kontraprodukif efek dari isu, lembaga yang kini dipimpin oleh Mufti Agung Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu memberikan sejumlah tuntunan menyikapi isu-isu tak bertanggung jawab. Rangkaian tuntunan ini disarikan dari pelajaran berharga peristiwa fitnah yang menimpa Aisyah RA.

Pertama, berbaik sangka kepada diri sendiri dan orang lain. Kedua, klarifikasi pada penyebar berita terkait validitas dan kebenaran kabar yang ia sebarkan. Ketiga, hindari menerima dan menyebarkan informasi tersebut. Apalagi, bila tidak memiliki pengetahuan kuat. Keempat, jangan sesekali menganggap isu-isu itu sepele.

Penegasan yang sama juga disampaikan Lembaga Urusan Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab. Seorang Muslim wajib menjauhi penerimaan dan penyebaran isu. Mengutip pernyataan Imam al-Munawi di Faidh al-Qadir, bisa saja kabar itu benar dan bohong di waktu yang sama. Maka sekadar berbagi kabar itu, ia sangat mungkin ikut menyebarluaskan berita dusta.

Aksi tercela tersebut, menurut lembaga ini, dilarang lantaran memiliki dampak buruk yang luar biasa di masyarakat. Alasannya masih sama, yaitu menebarkan kekacauan di khalayak umum. Larangan tersebut seperti tertuang di surah al- Ahzab di atas.

Di pengujung fatwa, lembaga nonpemerintah ini mengimbau sejumlah hal, yaitu selektif dan klarifikasi kabar apa pun yang beredar dan belum jelas kebenarannya.

Perintah tersebut ditegaskan surah al-Hujurat ayat 6. Sehingga, ada baiknya meminta pertimbangan pihak dan otoritas terkait. Di surah an-Nisaa’ ayat 83 dijelaskan, isu-isu tak bertanggung jawab itu bila dikembalikan kepada Allah dan Rasul-nya, selaku pemegang otoritas saat itu, maka mereka tidak akan berkesimpulan liar.

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” Kedua, menutupi keburukan dan aib orang lain. Sekalipun keburukan itu fakta, seyogianya tidak dijadikan sebagai konsumsi publik dan ajang hujatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement