Rabu 07 Jun 2017 11:57 WIB

Mengenal Istilah Fatwa dan Mufti

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Fatwa (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Fatwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsep fatwa, mengutip John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, pada masa awal perkembangan Islam berada dalam kerangka proses tanya jawab tentang informasi keislaman. Subjek utamanya ialah ilmu. Pemakaian teknis istilah ini meningkat setelah fatwa dipakai untuk kasus-kasus yang tak terluput dalam kitab-kitab fikih.

Namun, seiring dengan perkembangan tatanan so sial dan pemerintahan, fung si fatwa tak bergantung pada sistem yudisial, meskipun, dalam beberapa sistem, muf ti secara resmi terkait de ngan pengadilan. Oleh kare na itu, misalnya, di pengadilan Andalusia, mufti diposisikan sebagai penasihat hukum, sedangkan di peng adilan India-Inggris awal, muf ti hanya ditempatkan de ngan posisi orang yang ber ilmu ( maulawi).

Di sisi lain, kedudukan mufti dalam sistem politik Muslim didefinisikan berda sarkan peran dan posisi fikih dalam masyarakat. Sebelum abad ke-19, mufti hanyalah seseorang yang mengeluar kan fatwa. Satu-satuya pra sya rat bagi seorang mufti ada lah bahwa dia diketahui dan diakui oleh komunitas ilmiah. Bermula pada abad ke-11, jabatan publik mufti dilekatkan pada bidang kerja privat fatwa. Di Khurasan, pada abad ke-11, Syaikh al- Islam di sebuah kota adalah kepala resmi ulama lokal dan berfungsi sebagai mufti kepalanya. Di bawah Mamluk, mufti dari setiap mazhab diangkat sebagai bagian dari pengadilan banding di ibu kota provinsi.

Di Andalusia, kedudukan ahli fikih sangat kuat dan mereka merupakan bagian dari syura (dewan) amir dan khalifah. Dalam sistem politik Utsmani yah dan Mughal, mufti kepala disebut Syaikh al-Islam. Mufti juga ditunjuk untuk berbagai poisisi lain, seperti penilik pasar, penjaga moral publik, dan penasihat pemerintah dalam urusan keagamaan.

Di bawah Sultan Murad II, gelar kehormatan Syaikh al- Islam diubah menjadi gelar resmi kepala mufti negara. Pada masa Sultan Sulaiman Kanuni yang memerintah pada 1520-1566 Masehi, jabatan itu berkembang dari pekerjaan paruh waktu men jadi pekerjaan resmi.

Sulaiman mengangkat mufti Istanbul untuk jabatan Syaikh al-Islam dan menjadikannya kepala urusan keagamaan untuk seluruh kesultanan. Dengan demikian, Dinasti Uts maniyah memberikan dukungan politis kepada fatwa, yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Di luar Kesultanan Utsmaniyah, terdapat jabatan yang setara dengan Syaikh al-Islam, walaupun dikenal dengan sebutan yang berbeda. Di India zaman kekuasaan Mughal, ada jabatan kepala urusan keagamaan ( shadr al shudur). Syaikh al-Islam, pada era Mughal mereka bertugas mengurusi kaum sufi.

Demikian juga di Iran. Semasa Shafawiyah, Syaikh al-Islam tidak berperan sebagai mufti besar dan juga bukan kepala hierarki keagamaan. Fungsi tersebut dijalankan oleh shadr al shudur. Ia mengendalikan lembagalembaga keagamaan atas nama negara dan yang mengepalai penyebaran Syiah yang mendapat dukungan resmi.

Di bawah kekuasaan penjajah, madrasah mengambil alih peran mufti sebagai pembimbing keagamaan. Madrasah mendirikan lembaga Dar Al Ifta’. Institusi ini bertugas mengeluarkan fatwa. Media cetak dan elektronik pada abad ke-19 dan ke-20 memperkuat peran dan pengaruh fatwa. Mufti menghadapi berbagai masalah sehari-hari dalam masyarakat di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Ruang lingkup fatwa tidak saja meluas dan menjangkau publik lebih luas, tetapi bahasa, penyajian, dan gaya pun berubah.

Negara-negara Muslim, khususnya pada zaman modern, mencoba mengendalikan fatwa dengan melembagakan organisasi-organisasi yang memberikan konsultasi kepada negara dan mengeluarkan fatwa. Ambil saja contohnya di Pakistan. Negara Republik Islam itu membentuk Dewan Ideologi Islam Pakistan. Di Arab Saudi, terbentuk Komite Para Ulama (Haiat Kibar Al Ulama). Peran mereka adalah penasihat dan meraka merupakan bagian dari kementerian agama, bukan kementerian kehakiman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement