Senin 24 Apr 2017 06:21 WIB

Menyoal Mas Kawin

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Sebelum memutuskan menikah ada beberapa pertanyaan yang perlu diutarakan agar memastikan perkawinan berjalan bahagia.
Foto: thedunes
Sebelum memutuskan menikah ada beberapa pertanyaan yang perlu diutarakan agar memastikan perkawinan berjalan bahagia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mas kawin merupakan syarat sah menikah. Istri menerima mas kawin dari suami dengan nilai yang baik. Kebanyakan ulama berpendapat, tidak ada batasan maksimal dan batasan minimal berapa mas kawin yang akan diberikan. Sejauh istri ridha, cincin besi atau hafalan ayat Alquran pun bisa dijadikan mas kawin. Sebuah hadis yang bersumber dari Sahal bin Sa'ad diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim menunjukkan itu.

Para ulama sependapat bahwa mas kawin sepenuhnya merupakan hak istri. Melunasi mas kawin dengan penuh menjadi wajib sampai terjadinya kematian. "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, janganlah kami mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun."(QS an-Nisa: 20).

Hanya,  ada kalanya suami istri bersengketa tentang mas kawin. Sengketa terjadi mungkin karena penerimaan, besaran kadar mas kawin atau soal jenisnya. Perselisihan juga mungkin terjadi akibat waktu mas kawin yang harus diserahkan. Pada intinya, terjadi ketidakcocokan antara keterangan istri dan suami terkait dengan perihal mas kawin yang sebelumnya sudah disepakati.

Di dalam Kitab Bidayatul Mujtahid yang ditulis oleh Ibnu Rusyd, suami istri yang bersengketa tentang besaran mas kawin terjadi, misalnya, saat suami mengaku mas kawin dua ratus dirham, sementara istrinya mengaku seratus dirham. Ulama pun berbeda pendapat tentang kasus ini.

Imam Malik berpendapat, jika sengketa terjadi sebelum dukhul dan suami mengemukakan yang mirip dengan kata-kata istri, begitu pula dengan sang istri, keduanya harus saling bersumpah saling membatalkan. Jika salah satu pihak telah bersumpah, tetapi pihak lainnya menolak, yang diterima ialah pengakuan pihak yang mau bersumpah. Jika keduanya tak mau bersumpah, kedudukannya sama kalau mereka mau bersumpah.

Ketika sengketa terjadi sesudah dukhul, yang diterima adalah pengakuan suami dengan diambil sumpahnya. Hanya, sebagian ulama lain berbeda pendapat dengan mengatakan, apa yang diterima ialah pengakuan istri jika besarannya hanya mencapai mahar mitsil (mahar yang tidak disebutkan kadarnya pada sebelum dan saat terjadinya pernikahan. Mahar itu kemudian merujuk kepada mahar saudara perempuan istri). Meski demikian, ulama tersebut berpendapat pengakuan suami hanya diakui jika lebih besar dari mahar mitsil.

Hadis Rasulullah SAW. "Bukti adalah bagi orang yang menuduh dan sumpah adalah bagi orang yang menyangkal." (HR Baihaqi). Ulama-ulama berpendapat bahwa ketentuan tersebut menyebabkan pengakuan pihak yang lebih kuat kemiripannya itu yang harus diambil sumpahnya. Jika sama-sama kuat, keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan.

Sementara, ulama-ulama yang berpendapat lain menjelaskan, suami yang harus diambil dahulu sumpahnya. Karena, istri telah mengaku menikah dengan sang suami berikut jenis mas kawinnya. Suami yang mengklaim ada tambahan mas kawin maka status dari pihak suami adalah pihak tergugat.

Pengakuan istri jika besarannya mencapai kadar mahar mitsil, dan pengakuan suaminya kalau melebihinya, mereka berdalih bahwa dalam gugatan tentu ada salah satu pihak yang alasannya lebih kuat daripada lainnya. Kalau gugatan istri terkait soal besaran yang sebanding dengan mahar mitsil atau kurang, yang diterima ialah pengakuannya. Tapi, jika gugatan istri terkait besaran lebih tinggi dari mahar mitsil, yang diterima adalah pengakuan suami. Wallahualam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement