Ahad 09 Apr 2017 14:28 WIB

Istri Bisa Memberi Saran

Rep: Ferry Kinsihandi/ Red: Agung Sasongko
Sepasang suami istri/ilustrasi
Foto:

Mansur menguatkannya dengan hadis Bukhari yang diriwayatkan Ummu Salamah. Pada suatu peristiwa, setelah disepakati perjanjian damai dengan Quraiys, Rasul meminta para sahabatnya yang saat itu urung berziarah ke Makkah meminta mereka menyembelih unta yang mereka bawa. Sayang, mereka tak menyambut antusias.

Rasul meminta hingga tiga kali, tetapi mereka tetap saja tak menggubris. Rasul akhirnya melangkah ke tenda Ummu Salamah yang waktu itu merupakan bagian dari rombongan. Ummu Salamah memberi saran agar Rasulullah segera keluar dan menyembelih unta. Tak menunggu lama, para sahabat mengikutinya.

Syekh Muhammad al-Ghazali mengatakan, jika rumah tangga dapat diibaratkan sebagai lembaga pendidikan atau perseroan, harus ada yang memimpinnya, yaitu suami. Tapi, ia mengingatkan, kepemimpinan itu tidak boleh kosong dari musyawarah, saling memahami, berbeda pendapat, dan pencarian tulus yang berujung pada kemaslahatan.

Semua itu merupakan undang-undang yang berlaku dalam urusan kehidupan. Dan tentu saja seharusnya berlaku pula dalam urusan rumah tangga. Suami memberi peluang bagi istrinya berpendapat dalam sebuah musyawarah untuk menuntaskan permasalahan yang mereka hadapi.

Dalam bukunya, Mulai dari Rumah, al-Ghazali  juga mengutip Surah al-Syura ayat 38. Firman ini diturunkan di Makkah sebelum di kota tersebut ada urusan kemiliteran dan perundang-undangan. Secara umum, ungkap dia, ayat ke-38 itu mencakup urusan keluarga dan masyarakat.

Menurut al-Ghazali, cendekiawan Muslim, Profesor Ahmad Musa Salim, menjelaskan bahwa kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga tak lebih karena mereka yang memikul tugas-tugas pokok dan usaha memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan demikian, laki-laki harus memegang putusan final setelah melalui proses musyawarah.

Dalam konteks ini, istri berhak menarik persetujuan atas sikap akhir suaminya jika menyimpang dan bertentangan dengan syariat. Sang istri pun berhak tak mengikuti pandangan suaminya kalau memang tak sesuai hukum agama. Ini artinya, kata al-Ghazali, kepemimpinan laki-laki tak mengizinkannya untuk memaksakan kehendak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement