Kamis 02 Feb 2017 14:33 WIB

Bolehkah Istri Terus-terusan Berpuasa?

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Pasangan suami istri/Ilustrasi
Foto: pixabay
Pasangan suami istri/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,

Selain puasa wajib sepanjang Ramadhan, Rasulullah meng anjurkan bagi mereka yang mampu untuk mengerjakan puasa-puasa sunah, antara lain, puasa pada hari Senin dan Kamis, puasa pada hari-hari putih (ayyam al bidh) yaitu tanggal 13, 14, dan 15 Hijriyah. Bagi seorang perempuan dan istri, apakah diperbolehkan untuk melakukan puasa secara terus-menerus, tanpa jeda atau sering dikenal dengan istilah puasa wishal serta puasa setahun penuh atau yang dinamakan puasa dhar?

Yang dimaksud dengan wishal ialah berpuasa tiga hari secara berturut-turut tanpa berbuka. Mereka yang melakukan puasa tersebut menyambung waktu puasa mereka. Memang benar, Rasulullah SAW pernah melakukan wishal. Dalam puasanya tersebut, Nabi SAW meneruskan puasa sunahnya hingga dua malam berikutnya, lalu berbuka.

 

Riwayat tentang aktivitas wishal tersebut diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah. Tetapi, dalam hadis yang sama, lantas Rasulullah melarang umatnya melakukan hal yang sama. “Janganlah kalian melakukan wishal,” titah Rasulullah. Alasan pelarangan, yaitu bahwa Rasulullah diberi kekuatan berpuasa melebihi umatnya. Dengan melarang wishal maka akan menghindarkan mereka dari rasa sakit sekaligus bentuk kasih sayang Nabi SAW terhadap umatnya.

Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni, hukum puasa wishal bagi perempuan ialah makruh menurut mayo ritas ulama. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menambahkan, ulama sepakat hukum wishal ialah makruh. Di kalangan mazhab Syafi’i, derajat makruh tersebut ialah makruh tahrim, mendekati keharaman.

Sekalipun demikian, bila ia tetap berpuasa maka puasanya tak sertamerta batal. An-Nawawi lantas menyebut beberapa pendapat salaf. Al-Abadari mengatakan, di antara salaf ada yang melakukan wishal, kecuali Abdullah bin Zubair. Mereka berpuasa wishal dengan alasan mengikuti sunah dan sebagai bentuk kecintaan terhadap Rasulullah.

Demikian halnya dengan hukum puasa setahun penuh, shiyam ad dhar. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amar, Rasulullah menegaskan bahwa tidak ada puasa yang dilakukan sepanjang tahun. Bahkan, untuk menegaskan pelarangan itu, Rasulullah mengucapkan kalimat sebanyak dua kali, “Tidak ada puasa bagi yang berpuasa sepanjang tahun.”

Ibnu at-Tin, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Hajar, menggunakan riwayat ini sebagai dalil tegas pelarangan puasa dahr. Dikisahkan, suatu saat Abdurrahman bin Abu Na’im tengah berpuasa dahr, mengetahui hal itu, Amar bin Maimun berkomentar pedas yang menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap puasa dahr. “Jika para sahabat Nabi SAW melihat, niscaya mereka akan ‘merajamnya’.”

Apalagi, jika puasa tersebut dilakukan oleh seorang istri maka penekanannya akan lebih kuat. Seorang perempuan yang telah berumah tangga, ia dilarang berpuasa tanpa izin dan atas sepengetahuan suaminya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi perempuan berpuasa tanpa izin suaminya, sedangkan suaminya ada.” (HR Muttafaq ‘Alaih).

Imam an-Nawawi menerangkan, sebagian ulama berpandangan, hukum puasa yang dilakukan seorang istri tanpa izin suami ialah makruh. Tetapi, pendapat yang benar ialah haram berpuasa baginya jika tak diketahui oleh pasang annya. Alasan pengharaman ialah suami berhak mengajaknya berhubungan intim, kapan pun selama dalam kondisi bersih dari haid. Dengan berpuasa, hak tersebut akan terhalangi.

Apakah puasa yang dilakukan tetap sah meskipun tanpa izin suami? Menurut mayoritas ahli fikih, puasa sunah yang dikerjakan tetap sah dengan unsur keharaman di dalamnya. Di kalangan mazhab Hanafi, cukup makruh tahrim saja. mazhab Syafii mengerucut kan puasa sunah yang diharamkan adalah yang berulang-ulang sepanjang hari, seperti wishal atau puasa dhar.

Sedangkan, jika puasa tersebut tidak berturut-turut, misalnya, puasa Arafah, ‘Asyura, atau enam hari pada Syawal, ia boleh berpuasa tanpa izin selama tidak ada larangan dari suami. Tapi, kalau suami melarang maka tetap tidak diperkenankan puasa. Larangan ini hanya berlaku ketika suami berada di rumah, sedangkan saat suami tidak berada di rumah, tengah keluar kota, misalnya, menurut mazhab Syafi’I, tidak perlu izin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement