Rabu 01 Feb 2017 21:07 WIB

Agar Pelaksanaan Jual Beli Berlangsung Adil

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Jual beli di sebuah pasar (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Jual beli di sebuah pasar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada satu prinsip dagang yang terkenal. Dengan modal sekecil-kecilnya, meraih keuntungan sebesar-besarnya. Maka tidak mengherankan, demi mengejar keuntungan yang besar, apa pun akan dilakukan. Bahkan, sebagian pelaku perdagangan bersedia melanggar ketentuan hukum.

Maraknya praktik menimbun barang dagang di saat suplai terhambat dan masyarakat membutuhkan, diduga terkait motif ini. Para penimbun barang berharap dengan semakin langka di pasaran, harga pun akan melonjak. Di saat itulah, barang baru dijual dan mereka meraup keuntungan berlipat ganda.

 

Hal ini tentu tidak dibenarkan. Sebab, sangat menyengsarakan masyarakat banyak.  Mementingkan keuntungan pribadi ketika yang lain kesulitan. Tindakan semacam itu  patut dicela. Maka itu, para pelakunya bisa dijerat hukum. Sejatinya, bisnis dan perdagangan adalah keniscayaan.

Mereka yang terlibat di dalamnya diperkenankan mengambil keuntungan. Terkait hal ini, Islam mempunyai arahan agar pelaksanaan jual berlangsung adil. Surah an-Nisa ayat 29 mengingatkan agar orang beriman tak saling memakan harta sesamanya dengan jalan batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara mereka.

Maka itu, muncul ketetapan tentang batas keuntungan yang bisa diambil. Cendekiawan Muslim, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, melihat adanya kaitan antara keuntungan dan al-ghaban atau taktik penawaran. Diakui bahwa di sebagian kalangan masalah ini masih dianggap samar. 

Adapun di lingkup para ahli fikih sejak lama disepakati bahwa al-ghaban ditoleransi dengan batas maksimal sepertiga dari harga pembelian pokok. Sedangkan, apabila melebihi jumlah itu dianggap sebagai al-ghaban yang buruk serta tidak boleh dilakukan. Ini ditegaskan al-Qaradhawi dalam bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer.

Lebih jauh dijelaskan, berdagang atau tijarah adalah membeli barang dagangan untuk dijual kembali. Tujuannya yakni agar memperoleh keuntungan atau laba. Seperti diungkapkan dalam surah ash-Shaf ayat 10: “Mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”.

Dalam menafsir ayat tersebut, al-Qaradhawi berpendapat bahwa perdagangan merupakan suatu usaha yang diridhai Allah SWT. Mereka yang melakukannya dipandang sedang mencari karunia Allah. Hanya saja, seberapa besar batasan keuntungan yang wajar itu lain soal.

Menurut Rasulullah, jelas dia, batas minimal yang boleh diperoleh yaitu sekiranya keuntungan itu dapat digunakan untuk membayar zakat modal hingga modal itu tidak termakan zakat. Selain itu juga cukup untuk menafkahi dirinya dan keluarganya. Sedangkan, batasan maksimalnya tidak ditentukan, bahkan bisa lebih dari 100 persen.

Ulama ternama ini mengungkapkan, ada beberapa dalil yang menunjukkannya. Namun diingatkan bahwa apa yang dipraktikkan pada masa awal Islam itu tidak dimaksudkan bahwa setiap perdagangan boleh memungut laba hingga batas itu. Terlebih bagi orang yang berdagang barang kebutuhan pokok dan sangat dibutuhkan masyarakat.

Pandangan senada diungkapkan ulama besar, Sayyid Sabiq. Melalui bukunya Fiqih Sunnah, dia bertutur bahwa mencari laba adalah wajar dalam berniaga. Asalkan tidak dilakukan dengan jalan menipu, menimbun, mengecoh, dan praktik tercela lainnya. Ia menggolongkan kecurangan itu sebagai keburukan.

Sebagian ulama lain menyatakan, baru bisa dikategorikan curang jika kuantitas barang mencapai sepertiga nilai harga. Praktik kecurangan yang sangat dicela yakni menimbun barang. Kata Sayyid Sabiq, hukumnya haram karena bersumber dari sifat tamak dan akhlak rendah. “Serta bisa merugikan kehidupan masyarakat banyak.”

Ia mengatakan, sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmizi, dan Muslim perlu diperhatikan. “Barang siapa yang menimbun barang, ia telah berbuat kesalahan”. Sabiq menjelaskan, menimbun barang dilakukan dengan membeli barang, lalu menyimpannya agar barang itu berkurang di pasaran.

Langkah ini kemudian menyebabkan harga barang itu menjadi mahal. Menurut Sabiq, penimbunan barang tak menjadi soal bila barang itu tak dibutuhkan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement