Selasa 17 Jan 2017 04:23 WIB

Mengenal Istihadah dan Hukumnya

Rep: Heri Ruslan/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Dakwah Muslimah. (Republika/ Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Dakwah Muslimah. (Republika/ Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Meski tak sedang haid, Nursiti (30 tahun) mengaku sering kali masih mengeluarkan darah. Ibu satu anak itu pun ragu ketika akan menunaikan shalat. ''Boleh shalat nggak, ya?'' Pengalaman seperti ini kerap kali dialami kaum Hawa. Para ahli fikih menyebut keluarnya darah dari wanita bukan pada masa-masa haid dan nifas serta tak ada kemungkinan haid sebagai istihadah.

Syekh Muhammad al-Utsmain dalam Kitab Shahih Fikih Wanita, mendefinisikan istihadhah sebagai keluarnya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.

Menurut Syekh al-Utsmain, ada  tiga kondisi bagi wanita mustahadhah (yang mengalami istihadhah). Pertama, sebelum mengalami istihadah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadah.

Misalnya, papar Syekh al-Utsmain, seorang wanita yang biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah.

Hal itu didasarkan pada hadis Aisyah RA  bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW: "Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, itu adalah darah biasa. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat. " (HR Bukhari]

''Dengan demikian, wanita mustahadah yang haidnya sudah jelas waktunya menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, biarpun darah pada saat itu masih keluar,'' papar Syekh al-Utsmain.

Kedua,  tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadah, karena istihadah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, papar Syekh al-Utsmain, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan).

''Seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah,'' ujarnya.

Hal itu, tutur Syekh al-Utsmain, didasarkan pada sabda Nabi SAW kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Darah haid yaitu apabila berwarna hitam yang dapat diketahui. Jika demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit.” [HR Abu Dawud, An-Nasa'i).

Ketiga, tidak mempunyai haid yang jelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Artinya, istihadhah yang dialaminya terjadi terus-menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah,  sementara darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah seorang wanita mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya.

''Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah, sedang selebihnya merupakan istihadah,'' papar Syekh al-Utsmain. Misalnya,  tutur dia, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus-menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui wama ataupun dengan cara lain.

Maka, haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tanggal tersebut. Hal itu  berdasarkan hadis Hamnah binti Jahsy RA, ia berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadah yang deras sekali. Lalu bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah menghalangiku shalat dan berpuasa?''

Rasulullah bersabda: "Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatkannya pada farji, karena hal itu dapat menyerap darah". Hamnah berkata: "Darahnya lebih banyak dari itu". Nabi pun bersabda: "Ini adalah salah satu perbuatan setan. Maka hitunglah haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah Ta'ala, lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah  24 atau 23  rakaat malam dan siang hari, dan puasalah." (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Kondisi Istihadah Menurut Imam Lima Mazhab

Imam empat mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali berpendapat: Istihadah tidak mencegah (melarang) seorang Muslimah untuk melakukan sesuatu seperti yang dilarang dalam haid, seperti; shalat, membaca Alquran, amsuk masjid, beri'tikaf, berthawaf, berpuasa, bersetubuh dan lain-lainnya seperti yang dijelaskan dalam masalah-masalah yang dilarang bagi orang berhadas besar.

Imamiyah (ulama yang mempercayai wajib adanya imam): Istihadah sedikit dihukumi sama dengan hadas kecil. Maka, seorang Muslimah yang mengalaminya tidak boleh melakukan sesuatu yang memerlukan wudhu kecil setelah berwudhu. Sedangkan istihadah sedang dan banyak sama dengan hadas besar, maka Muslimah yang mengalaminya dilarang melakukan sesuatu yang mensyaratkan harus mandi.  (Sumber: Kitab Fikih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement