Ahad 18 Dec 2016 19:00 WIB

Bolehkah Dana Zakat Diinvestasikan?

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
zakat
zakat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan dana zakat saat ini cukup menggembirakan. Berdasarkan data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), dana zakat bertumbuh hingga 30 persen per tahun pada lima tahun terakhir. Pada Januari-Agustus 2016, total penghimpunan dana zakat, infak, dan sedekah mencapai Rp 3,65 triliun. Berbagai program inovatif dilakukan lembaga amil zakat untuk menarik umat menyalurkan dananya.

Kini lembaga zakat tak sekadar menyalurkan dana untuk program sosial. Lembaga zakat juga menstimulus kegiatan ekonomi berupa kegiatan kewirausahaan agar para mustahik bisa mandiri. Tak hanya itu, program investasi juga menjadi pilihan beberapa lembaga zakat agar dana tersebut semakin berkembang. Kebermanfaatan dana itu juga bisa bertambah.

Hanya, masih ada perdebatan apakah dana zakat boleh diinvestasikan atau tidak. Bukankah menginvestasikan dana zakat bisa berisiko menimbulkan kerugian sehingga dana untuk para mustahik menjadi berkurang? Siapa yang akan menanggung kerugiannya jikalau hasil investasi tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan?

Sebenarnya Allah SWT dalam Alquran sudah memberi batasan mengenai siapa yang berhak mendapatkan dana zakat. "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berutang untuk jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana (QS at-Taubah [9] :60).

Ini menjadi dalil dari delapan asnaf sebagai golongan yang berhak mendapatkan zakat. Mereka adalah fakir, miskin, amil (pengelola zakat), gharimin (orang yang berutang), mualaf (baru masuk Islam), budak, fi sabilillah (pejuang di jalan Allah), hingga ibnu sabil (pengembara).

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang hukum investasi dana zakat. Dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003, zakat yang ditangguhkan boleh diinvestasikan (istismar) dengan beberapa syarat yang ketat.  Zakat ditangguhkan (ta'khir), yakni zakat yang penyalurannya ditangguhkan oleh lembaga zakat atau muzaki menangguhkan pembayaran ke lembaga zakat.

Zakat ditangguhkan bisa diterima sepanjang belum ada mustahik dan ada kemaslahatan lebih besar berdasarkan penilaian lembaga zakat atau muzaki. MUI lantas mencantumkan persyaratan zakat yang di-ta'khir-kan bisa diinvestasikan. Pertama, dana zakat harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh syariah dan peraturan yang berlaku. Kedua,  diinvestasikan pada bidang-bidang usaha yang diyakini dapat memberikan keuntungan atas dasar studi kelayakan. Ketiga, dibina dan diawasi pihak-pihak berkompeten.

MUI juga mensyaratkan bahwa pengelolaan investasi dana tersebut harus dilakukan oleh institusi atau lembaga yang profesional dan dapat dipercaya (amanah). Berikutnya, izin investasi harus diperoleh dari pemerintah. Kemudian, pemerintah harus menggantinya apabila lembaga yang ditunjuk untuk mengelola investasi dana zakat tersebut merugi atau pailit. Kemudian, tidak ada fakir miskin yang kelaparan atau memerlukan biaya yang tidak bisa ditunda pada saat harta zakat itu diinvestasikan. MUI juga mensyaratkan pembagian zakat yang di-takhir-kan kaena diinvestasikan harus dibatasi waktunya.

Dewan Syariah Rumah Zakat Indonesia menjelaskan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya berinvestasi dengan dana zakat. Untuk investasi oleh calon muzaki, kalangan ulama yang menolak mengungkapkan bahwa hukum dasar membayar zakat adalah bersegera (fauriyyah), bukan bisa ditangguhkan. Menunda penyaluran zakat tidak dibolehkan termasuk dengan cara investasi.

Sementara untuk investasi zakat yang sudah ada di tangan lembaga, kalangan yang menolak menjelaskan, investasi dana zakat tetap haram karena termasuk bagian dari menangguhkan sampainya dana zakat kepada yang berhak. Padahal, pembayaran zakat harus bersegera. Kedua, investasi dana zakat mengancam adanya kerugian karena bisnis hanya mengenal dua kemungkinan, untung atau rugi. Ketiga, investasi hanya akan menyedot dana operasional lebih banyak dari dana zakat terkumpul itu sendiri. Berikutnya, investasi dana zakat dalam bentuk apa pun membuat hilangnya kepemilikan harta secara personal karena semua dana hak asnaf bersifat kepemilikan kolektif. Kelima, peran lembaga yang mewakilinya hanya kolektor, bukan manajer pengelola.

Masih mengutip dari Dewan Syariah Rumah Zakat Indonesia, ulama kontemporer semisal Yusuf Qaradhawi mengungkapkan, investasi  dana zakat adalah halal. Qaradhawi juga berpendapat, lembaga zakat boleh menginvestasikan dana zakat yang diterima secara melimpah dalam bentuk apa pun, seperti ruko dan sejenisnya. Hasil yang didapat dari investasi tersebut bisa disalurkan kepada para mustahik secara periodik. Bentuk investasi dana zakat itu tidaklah boleh dijual dan dialihkan kepemilikannya sehingga menjadi bentuk setengah wakaf." (Yusuf Qaradhawi, "Atsar al-Zakat lil afrad wa al-mujtamaat", paper dalam seminar Zakat I tahun 1984).

Alasan dibolehkannya investasi dana zakat, di antaranya adanya riwayat yang mengatakan bahwa Nabi dan para Khulafaur Rasyidin pernah menginvestasikan dana-dana zakat lewat unta dan kambing. Berdasarkan riwayat Anas bin Malik, Nabi pernah meminum susu dari hewan-hewan ternak zakat di Madinah. Hewan itu ditempatkan di tempat peternakan khusus dengan diurus para penggembala yang digaji sehingga peternakan tersebut menghasilkan pengembangan ternak secara signifikan (HR Bukhari).

Berdasarkan riwayat Zaid bin Aslam, hal serupa pernah dilakukan Umar ketika meminum susu dari ternak-ternak hasil zakat yang dikembangkan. Pendapat yang mengatakan bahwa pembayaran zakat itu harus segera, itu berlaku bagi muzaki, bukan imam atau lembaga pengelolanya.

Perluasan arti "fi sabilillah" yang diartikan segala bentuk kebaikan, seperti membangun benteng, merenovasi masjid, membangun pabrik, dan lain-lain, seperti yang dinukil al-Razy dalam tafsirnya (Juz 16 h 115). Jika alokasi dana zakat dalam bentuk kebaikan apa pun, investasi dalam bentuk perdagangan dan pabrik bisa mendatangkan keuntungan bagi para mustahik itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh pendapat al-Nawawi yang menyatakan bahwa imam boleh menyalurkan dana zakat secara langsung atau tidak langsung melalui penyewaan atau investasi bentuk apa pun (Al-Nawawi, al-Majmu, jilid 6 h. 160).

Berikutnya, berpijak pada konsep istihsan. Kendati secara eksplisit tidak ditemukan anjuran investasi secara langsung, adanya situasi dan kebutuhan modern saat ini membuat investasi dana zakat ini sangat bermanfaat, terutama bagi para mustahik. Ada aspek kemaslahatan yang besar jika dana zakat bisa dikelola melalui investasi yang cerdas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement