Ahad 24 Jul 2016 11:56 WIB

Apakah Usaha Money Changer Termasuk Riba?

Rep: Hafidz Muftisanny/ Red: Achmad Syalaby
Petugas sedang menghitung uang Dollar di Money Changer, Jakarta, Rabu (7/10).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Petugas sedang menghitung uang Dollar di Money Changer, Jakarta, Rabu (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Sistem ekonomi modern membuat hubungan perdagangan bisa dilakukan lintas negara. Meskipun masing-masing negara memiliki mata uang, perdagangan antarnegara tetap bisa dilakukan. Ada kurs dan nilai mata uang yang bisa diperdagangkan.

 Selain itu, mata uang asing juga diperlukan bila seseorang hendak bepergian ke luar negeri. Nilai tukar mata uang juga menjadi patokan. Jika nilai tukar mata uang terhadap mata uang fluktuatif seperti yang terjadi saat ini, bagaimana hukumnya? Lalu hukum menukar mata uang dengan mata uang asing seperti apa? 

Pimpinan Ar-Rahman Qur'anic Learning (AQL) Center, Ustaz Bachtiar Nasir, menjelaskan, dalam kitab fikih Islam jual-beli mata uang disebut al-sharf dan dalam istilah fikih kontemporer disebut al-tijarah bil al-'umlat (jual-beli mata uang). Pada masa awal dan kejayaan Islam, mata uang itu hanya dalam bentuk emas yang dinamakan dinar dan perak yang dinamakan dengan dirham. 

Namun, kata Ustaz Bachtiar, zaman sekarang kebanyakan mata uang berbentuk nikel, tembaga, dan kertas yang diberi nilai tertentu. Para ulama menjelaskan, pada dasarnya al-sharf atau jual beli mata uang hukumnya boleh, sebagaimana jual beli lainnya, selama tidak mengandung unsur riba, gharar, dan spekulasi, serta memenuhi syarat yang ditentukan dalam syariat.

Hadis Nabi Muhammad menjelaskan ketentuannya. Pertama, jual beli atau transaksi tersebut harus dilakukan secara tunai, artinya setiap pihak harus menerima dan menyerahkan mata uang masing-masing pada saat terjadinya transaksi. Tidak sah jual beli jika salah satu pihak tidak menerima atau menyerahkan mata uangnya. Karena, ini akan termasuk riba yang diharamkan oleh Allah SWT.

Dari 'Ubadah bin al-Shamit, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya'ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya'ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar secara kontan (tunai). Dan, jika jenis barang itu berbeda, silakan engkau memperjualbelikannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai)." (HR Muslim).

Dalam hadis lain disebutkan, dari Abu Minhal, ia berkata, "Saya bertanya kepada al-Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam tentang al-sharf (jual beli uang), maka mereka berkata: Pada zaman Rasulullah SAW kami adalah pedagang dan kami bertanya kepada Rasulullah SAW tentang al-sharf itu. Beliau bersabda:  Jika dilakukan dengan cara tunai maka tidak apa-apa dan jika dilakukan penundaan (ditangguhkan penyerahan salah satu uang tersebut) maka tidak boleh." (HR Bukhari).

Kedua, jika pertukaran itu dalam mata uang yang sama, nilainya harus sama dan tidak boleh ada yang dilebihkan. Misalnya, rupiah dengan rupiah maka nilai nominalnya harus sama, tidak boleh menukar Rp 1.000 dengan Rp 1.100 karena itu termasuk riba yang disebut dengan riba al-fadhl.

Sedangkan, jika mata uangnya berbeda, seperti rupiah dengan dolar AS, hanya disyaratkan transaksi itu harus tunai dan ada serah terima antara pembeli dan penjual pada saat transaksi. 

Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW, dari Abu Sa'id al-Khudri meriwayatkan, Rasulullah bersabda, "Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali sama beratnya, dan janganlah engkau melebihkan satu dengan yang lainnya, dan janganlah engkau menjual perak dengan perak, kecuali sama beratnya, dan janganlah engkau melebihkan satu dengan yang lainnya, dan janganlah kalian menjual sesuatu yang tidak ada (gaib) dengan sesuatu yang ada di tempat (najiz)." (HR. Bukhari).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement