Rabu 07 Oct 2015 05:23 WIB

Bagaimana Hukum Jual Beli Valas dalam Islam?

Rep: Hanan Putra/ Red: Agung Sasongko
Transaksi valas -ilustrasi
Transaksi valas -ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jual beli valuta asing (valas) dalam transaksi keuangan saat ini sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup. Sama halnya kebutuhan umat manusia ke pada uang yang berfungsi sebagai nilai tukar. Tak hanya bank konvensional, sebagian bank lslam juga berperan dalam hal ini.

Para ulama memberikan komentar beragam terkait hukum fikih jual beli valas ini dalam Islam. Apakah hanya sebagai kebutuhan atau menjadikannya sebagai suatu bidang bisnis. Sebenarnya, bagaimana hukum jual beli valas dalam Islam?

Contoh, bentuk jual beli valas saat sebuah bank Islam ingin membeli dolar Amerika dari bank di Inggris. Dalam hal ini sudah barang tentu bank lslam itu harus menjual mata uang lain kepada Bank Britania tersebut, katakan saja mark Jerman (DM). Dan, kita tetapkan saja harga satu dolar Amerika sama dengan tiga mark Jerman. Misalnya, bank Islam tersebut membeli satu juta dolar dengan membayar tiga juta mark Jerman kepada Bank Britania.

Tahapan selanjutnya, setelah ditentukan harga mata uang yang di perjualbelikan, sempurnalah serah terima terhadap nilai yang mereka sepakati dengan dimasukkannya ke rekening masing-masing kedua bank itu. Akan te tapi, sebenarnya penyerahan dan penerimaan tersebut tidak terjadi pada waktu itu, tetapi setelah 48 jam kerja (dua hari kerja).

Kenyataan seperti ini sudah biasa dikenal dalam dunia internasional dan jual beli semacam itu tetap disebut “tunai” atau “kontan”. Bahkan, jika kebetulan bertepatan dengan libur akhir pekan, serah terima itu baru dapat terlaksana setelah 96 jam kerja.

Lantas, bagaimanakah Islam menjawab hal ini? Syekh Yusuf Qardhawi menfatwakan terkait masalah tersebut, yaitu yang berhubungan dengan investasi sebagian bank Islam dalam jual beli valas. Menurut prinsip syara’, jual beli mata uang haruslah dilakukan secara tunai, sebagaimana dijelaskan hadis Rasulullah SAW dalam jual beli enam macam benda yang sudah terkenal.

Karena itu, tidak sah akad jual beli mata uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai ketika di tempat transaksi itu. Hanya saja, yang menjadi kriteria “tunai”, yaitu menurut kebiasaan masing-masing dan tunainya sesuatu itu menurut ukurannya sendiri-sendiri. Dalam hal ini syara’ telah menyerahkan ukuran banyak hal kepada adat kebiasaan manusia, sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah dan lain-lainnya, di antaranya adat, yaitu emas, perak, beras gandum, padi gandum, kurma, dan garam.

Artinya, jika sebutan tunai dengan cara di atas meski memakan waktu dua hari dan sudah menjadi adat kebiasaan bersama, kaidah tunai menurut syara’ sudah terealisasi.

Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum yang berkaitan dengan ketunaian menurut syara’. Meskipun realitas tunai itu juga mengikuti kedaruratan waktu, darurat tetap harus diukur dengan ukurannya. Maka, tidak diperkenankan bagi bank lslam menjual apa yang telah dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut kriteria adat kebiasaan yang berlaku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement