Senin 05 Oct 2015 20:15 WIB

Pakai Sepatu Berhak Tinggi, Bolehkah?

Rep: Hanan Putra/ Red: Agung Sasongko
Sepatu hak tinggi
Sepatu hak tinggi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tampil cantik dan tinggi bagi para wanita terkadang perlu didukung dengan memakai sepatu berhak tinggi (high heels). Menurut mereka, rasa rendah diri bisa hilang jika postur tubuh mereka yang rendah bisa ditopang oleh high heels.

Tentu saja Islam tidak melarang wanita untuk tampil cantik selama itu tak melanggar koridor syariat. Namun, apakah boleh jika ikut memakai sepatu high heels, wedges (sepatu atau sandal yang bersol tebal), atau sejenisnya?

Membahas hukum fikih kontemporer terkait hal ini, para ulama pun berbeda pendapat. Beberapa kalangan memakruhkan (membenci) hal ini dan sebagian lagi mengharamkannya. Namun, belum ditemui pendapat ulama mazhab yang membolehkannya.

Memakai high heels atau wedges belum dijumpai pada zaman Rasulullah SAW. Masalah yang paling dekat untuk diqiyashkan dalam mengambil hukumnya, yakni hadis riwayat Muslim yang berasal dari Abu Said Al-Khudri RA. Riwayat ini mengisahkan seorang wanita Bani Israil bertubuh pendek. Untuk mendongkrak penampilannya, ia membuat sepasang kaki dari kayu dan cincin emas yang dilapisi tanah. Wanita itu pun memakai wewangian dari kesturi.

Ibnu Hibban juga memiliki lafaz hadis yang serupa maknanya. Ia meriwayatkan, “Ada seorang wanita Bani Israel yang bertubuh pendek memakai sandal dari kayu. Kemudian berjalan di antara dua wanita yang tinggi agar terlihat tinggi dengan sandal tersebut.” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).

Riwayat yang sama juga berasal dari Urwah yang ia dengar dari Aisyah RA. Katanya, “Ketika itu, para wanita Bani Israil membuat kaki dari kayu agar dapat dimuliakan oleh kaum pria di masjid. Maka, Allah mengharamkan atas mereka masjid dan dijatuhkan hukum bagi mereka, seperti hukum wanita haid.” (HR Abdurrazaq).

Berpatokan dari riwayat dengan sanad yang shahih inilah, beberapa ulama mengharamkan para Muslimah untuk memakai sepatu berhak tinggi. Seperti fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baaz dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Menurut mereka, budaya berpakaian yang demikian merupakan budaya orang Yahudi dan Nasrani yang tak patut dicontoh oleh umat Islam. Sedangkan, hukum tasyabbuh (meniru) orang kafir, yakni haram. Keduanya menggolongkan high heels dan wedges ke dalam tabarruj (berhias ala jahiliyah) yang dilarang. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah.” (QS al-Ahzab [33]: 33).

Syekh Abdul Aziz bin Baaz dalam fatwanya yang lain juga pernah memakruhkan hal ini. Seperti dalam al-Jami’ li Fatawa Al-Mar’ah Muslimah disebutkan, “Hukumnya paling tidak makruh (sangat dibenci). Alasannya, pertama, ada unsur penipuan, yakni seorang wanita terlihat tinggi, padahal sebenarnya tidak. Kedua, berbahaya karena ditakutkan wanita yang memakainya bisa terjatuh. Ketiga, pemakaian dalam waktu lama bisa juga berbahaya bagi kesehatan, seperti yang diungkapkan para dokter.”

Ulama lainnya, Syekh Saleh al-Utsaimin, menambahkan, sebenarnya boleh saja para wanita memakai sepatu berhak tinggi jika masih dalam batas kewajaran. Namun, jika sudah menampakkan aurat, tentu hal itu termasuk pada perkara yang diharamkan.

Syekh Utsaimin mengatakan, dengan memakai sepatu berhak tinggi akan berpengaruh pada cara berjalan. Wanita terkesan berjalan berlenggak-lenggok, sedangkan hal ini jelas dilarang dalam syariat.

Seperti disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah RA, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR Muslim).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement