Rabu 05 Aug 2015 21:07 WIB

MUI: Konsep BPJS Belum Ideal

Rep: c02/ Red: Agung Sasongko
Warga mendaftar program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Rumah Sakit Umum (RSU) Tebet, Jakarta, Rabu (5/8).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga mendaftar program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Rumah Sakit Umum (RSU) Tebet, Jakarta, Rabu (5/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai konsep BPJS masih belum ideal. Apalagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak yang terlibat dalam BPJS.

Dalam draft Jaminan Sosial Dalam Putusan Ijtima' Ulama komisi Fatwa MUI se Indonesia yang ke lima, MUI memang menyambut baik diterbitkannya undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS. 

Namun, beberapa permasalahan dalam program BPJS kesehatan itu masih dianggap belum memenuhi ketentuan syariah islam. Program BPJS Kesehatan di mata MUI berstatus haram lilghoiri (Haram karena tidak sesuai syariah). Program tersebut masih mengandung unsur gharar, Riba dan Maisir. 

Gharar dalam program BPJS Kesehatan terdapat dalam titipan atau iuran yang dibayarkan dari peserta BPJS yang digunakan untuk kepentingan peserta lainnya. Tapi dalam udang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tidak dijelaskan defenisi dana titipan yang dimaksudkan oleh BPJS. 

Titipan dalam ilmu syariah timbul karena ada akad wadi'ah (objek yang dititipkan masih milik penitip). Barang yang dititipkan tidak boleh digunakan pihak lain selain pemiliknya. Sedangkan UU SJSN menyebutkan dana titipan itu digunakan untuk yang bersangkutan dan pihak lain.

Inilah yang disebut Gharar karena akad yang digunakan tidak jelas. Sementara akad wadi'ah tidak relevan dengan karakter jaminan sosial dalam UU SJSN pasal 29 ayat 1, pasal 35 ayat 1 dan pasal 43 ayat 1. 

Unsur riba di program BPJS. Dalam pemahaman MUI, riba terjadi karena ada simapanan atau pengembanan dana melewati deposito di bank konvensional, surat utang negara (SUN) dan obligasi. 

Sedangkan unsur Maisir dalam program BPJS kesehatan  ada karena adanya ketidakjelasan dalam klaim terhadap kesehatan atau kecelakaan. Karena perspektif asuransi adalah tijarah (bisnis). Maka, obyek resiko yang kurang pasti hanya bisa dilakukan dengan akad hibah. 

Dalam draft itu juga, MUI memperingatkan, jika sistem BPJS masih berjalan seperti biasanya. Maka akan terjadi penolakan dari kalangan masyarakat islam terhadap program BPJS. Apalagi ada kewajiban penggunaan BPJS Kesehatan di tahun 2019 dengan dibarengi sanksi administratif. 

MUI menghimbau dan mendorong pemerintah agar segera menyempurnakan ketentuan dan sistem BPJS kesehatan agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement