Senin 18 May 2015 13:15 WIB

Hidupkan Malam Nishfu Sya'ban? Ini Sikap Mesir dan Uni Emirat Arab

 Ribuat Jamaat Dzikir Nasional yang diadakan oleh REPUBLIKA memadati Masjid Agung At-Tin, Jakarta Timur, Rabu (31/12).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ribuat Jamaat Dzikir Nasional yang diadakan oleh REPUBLIKA memadati Masjid Agung At-Tin, Jakarta Timur, Rabu (31/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Besok, kita akan memasuki Sya'ban. Salah satu rutinitas yang kerap dilakukan oleh tak sedikit umat Islam adalah menghidupkan malam pertengahan Sya'ban. Benarkah aktivitas tersebut dianggap bid'ah?

Tradisi menghidupkan malam ini pun berlaku di sejumlah kalangan. Ada yang menggelar tahlil bersama-sama di mushala atau masjid, pembacaan surah yasin, dilengkapi dengan tausiyah tokoh agama.

Tak hanya di dalam negeri, fenomena serupa banyak pula dijumpai di kawasan Timur Tengah. Pro dan kontra pun muncul menanggapi hukum boleh atau tidaknya tradisi menghidupkan malam nishfu Sya’ban tersebut.

Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, pun angkat bicara. Menurut lembaga yang pernah dipimpin oleh Syekh Ali Jumah itu, menghidupkan malam nishfu Sya’ban boleh dan termasuk sunah.

Selain riwayat Aisyah di atas, opsi ini merujuk pada sejumlah hadis antara lain hadis Mu’adz bin Jabal dari Ibn Hibban dan Thabrani, serta Ali bin Abu Thalib dari Ibnu Majah. Ragam hadis itu, adalah hadis hasan yang saling menguatkan satu sama lain. Bukan lemah seperti yang ditudingkan selama ini.

 

Menurut lembaga yang kini digawangi oleh Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu, pembacaan surah yasin selama tiga kali pada malam tersebut juga diperbolehkan. Ini termasuk salah satu cara dan bentuk menghidupkan nishfu Sya’ban.

Dar al-Ifta menegaskan pula bahwa penetapan lokasi menghidupkan Nishfu Sya’ban tidak jadi soal, seperti masjid atau mushala misalnya. Ini merujuk pada riwayat Abdullah bin Umar. Kono, Rasulullah SAW sering mendatangi Masjid Quba tiap Sabtu untuk beribadah.

Ibnu Rajab di kitab Lathaif al-Ma’arif menjelaskan bagaimana karakter dan hakikat menghidupkan malam. Ada dua kutub pendapat di kalangan ulama Syam. Pertama, dilakukan secara berjamaah di masjid.

Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin Amir serta para ulama lainnya mengenakan busana terbaik, menggunakan wewangian, dan bercelak lalu menghidupkan nishfu Sya’ban di masjid. Aktivitas ini didukung oleh Ishaq bin Rahawaih. Ishaq berpendapat tradisi semacam itu bukanlah bid’ah.   

Namun, perlu digarisbawahi hendaknya tidak ada unsur kelaziman yang mengharuskan seseorang terlibat menghidupkan nishfu Sya’ban dengan cara berjamaah atau pun sendirian. Jika terdapat unsur kelaziman (ijab)  itu, maka rentan tergolong bid’ah yang dilarang agama.

Lembaga Urusan Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab (UEA) berpandangan sama. Menghidupkan malam nishfu Sya’ban hukumnya sunat. Ini seperti hadis riwayat Abdullah bin Umar yang dinukilkan oleh Ahmad.

Mengutip kitab al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq, yang dimaksud dengan menghidupkan malam nishf Sy’aban yaitu menghiasi malam itu dengan aneka ibadah, seperti zikir, membaca Alquran, dan shalat.

Demikian pula hukum berpuasa di siang hari nya. Hukumnya sunat, seperti dikutip dari Hasyiyah as-Shawi. Apalagi, kata Ibnu Hajar di kompilasi fatwanya, hari itu termasuk ayyam al-baidh atau pertengahan bulan qomariah.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement