Jumat 17 Jan 2014 19:33 WIB

Syekh Albani, Dipuja dan Dicerca (1)

Syekh Albani
Foto: dok.istimewa
Syekh Albani

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nashih Nashrullah

Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, atau cukup disingkat dengan Albani, tak asing bagi pegiat hadis masa kini. Namanya, melambung melalui sejumlah karya seperti Silsilah al-Ahadits as-Shahihah dan Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah.  Tetapi, ikhtiar yang dilakukan sosok yang wafat pada 1999 itu, menuai kontroversi. Baik kubu pro dan kontra.  

Dalam buku Mushtalah al-Hadits fi Sual wa Jawab Syekh Musthafa al-Adawi menjawab pertanyaan perihal kompetensi dan kualitas Syekh Albani  dalam menilai hadis. Al-Adawi mengkomparasikan Albani dengan Syekh Ahmad Syakir.

Nama yang kedua terakhir itu, menurut al-Adawi, lebih fleksibel dan cenderung memudahkan kriteria keshahihan hadis. Ada beberap perawi yang dinilai layak menurut Ahmad Syakir, padahal tidak demikian. Seperti Ibnu Lahi’ah, Syahar bin Hausyab, Laits bin Abi Salim, Yazid bin Abi Ziyad dan lainnya.

Sedangkan Albani, memang lebih mendingan. Tetapi, tetap saja memiliki kekurangan. Seringkali Albani menilai shahih sebuah hadis, dari sisi sanadnya saja, tidak mengkaji lebih detail terkait illat atau cacat yang tersembunyi baik dalam redaksi ataupun jejaring sanadnya.

Sedangkan Syekh Abd al-Aziz at-Tharifi menaruh hormat dan mengapresiasi ikhtiar Syekh Albani. Dia menegaskan, seperti halnya ulama lainnya, pendapat dan hasil kesimpulan Albani menyangkut hadis tertentu, tidak bersifat mutlak. Boleh dipakai sebagai rujukan, atau ditingalkan sama sekali.

Sudut pandang Albani terkait hadis memang dianggap kontroversial. Dia mendapat kritikan lantaran terlalu fleksibel. Di antaranya menilai shahih hadis hanya kejamakan riwayat sekalipun lemah, dan terlalu toleran menyimpulkan hasan terhadap beberapa nama perawi yang terkanal lemah.

Di sisi lain, Albani dianggap terlampau ekstrem menjatuhkan vonis lemah atas sejumlah hadis. Misalnya saja, Albani dinyatakan ekstrem menolak sama sekali riwayat perawi yang divonis manipulatif terhadap riwayat tadlis atau riwayat yang terputus munqathi’sekalipun, padahal ternyata ada indikator penguat hadis tersebut yang tidak terungkap di mata Albani.

Sehingga deretan indikator itupun oleh para ulama sebelumnya dijadikan acuan untuk menolelir riwayat-riwayat bermasalah tadi. Contohnya, riwayat dari Sa’id dari Umar atau riwayat Abu Ubaidah dari ayahnya. Tetapi, dalam konteks ini, Syekh ath-Tharifi menganggap apa yang dilakukan oleh Albani tak lebih dari ijtihad, yang berpotensi benar atau salah.”Jadi dia tidak berbuat bid’ah,”kata dia.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement