Senin 06 Aug 2012 07:47 WIB

Fatwa Qardhawi: Hukum Berutang dengan Sistem Riba (2-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Riba (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Riba (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah itu masih ada tiga perkara yang wajib dipelihara: Pertama, bahwa kondisi darurat itu harus benar-benar terwujud dalam kenyataan, bukan sekadar alasan untuk memperbolehkan (menghalalkan) sesuatu yang jelas haram.

Hal ini banyak bukti dan dalilnya menurut para ahli. Hal ini pun dapat ditanyakan kepada pakar ekonomi yang adil, yang tidak mengikuti hawa nafsu, dan tidak menjual akhiratnya untuk dunia.

"... tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Mahamengetahui." (QS. Fathir: 14).

Kedua: semua pintu yang halal sudah tertutup, baik bagi perseorangan maupun bagi pemerintah. Hal itu didapati setelah semua jalan telah dicoba dan diusahakan. Sedangkan pengganti yang dibenarkan syara’ untuk menutup keperluan itu tidak ada.

Selain itu, juga tidak ada jalan keluar dari kondisi darurat beserta tekanannya yang memaksa. Akan tetapi jika ada penggantinya dan terbuka pintu kepada yang halal, maka tidak boleh beilindung kepada yang haram sama sekali.

Ketiga: janganlah sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu dijadikan pokok dan kaidah, tetapi hal itu merupakan pengecualian yang bersifat temporer, yang akan hilang dengan lenyapnya kedaruratan.

Karena itu para ulama menyempurnakan kaidah: “Darurat itu memperbolehkan sesuatu yang (terlarang) dengan kaidah lain sebagai patokan yang berbunyi, apa yang diperbolehkan karena darurat itu diukur dengan kadar kedaruratannya.”

Kaidah ini dirumuskan dari firman Allah, "... barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas. maka tidak ada dosa baginya...” (QS. Al-Baqarah: 173).

Barangsiapa yang melampaui batas darurat, baik waktunya maupun ukurannya, berarti dia sengaja melanggar dan melampaui batas.

Dengan demikian, yang terbaik ialah menempuh jalan secara bertahap yang sudah menjadi sunah Allah di alam semesta dan dalam syara'. Selain itu, hendaklah ia menaiki tangga dari awal setahap demi setahap.

Oleh sebab itu, janganlah ia melompat sekaligus untuk menggapai seluruh anak tangga, karena yang demikian itu kadang-kadang akan menyebabkan kerugian dalam beragama dan ketidakberhasilan dalam kehidupan dunia sekaligus.

sumber : Fatawa Al-Qardhawi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement