Jumat 13 Jul 2012 22:26 WIB

Menyikapi Perbedaan Awal Ramadhan (2-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Hilal (ilustrasi).
Foto: dpshots.com
Hilal (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Terkait dasar dan argumentasi fatwa, ada beberapa landasan dalil yang menjadi rujukan. Di antaranya ialah ayat ke-59 Surah An-Nisaa’:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya).”

Hadis Bukhari dari Irbadh bin Sariyah menjelaskan bahwa wajib hukumnya menaati pemimpin. Meskipun, saat itu, pemimpin yang bersangkutan berasal dari hamba sahaya.

Imam As-Syarwani dalam Hasyiyah As-Syarwani mengatakan, letak perbedaan ialah ketika seorang hakim belum mengeluarkan ketetapan. Karenanya, bila sang hakim—dalam konteks Indonesia adalah pemerintah—telah memberikan keputusan terkait awal puasa itu, segenap masyarakat wajib berpuasa.

Keputusannya pun tidak bisa dibatalkan, menurut konsensus (ijmak) para ulama. Sebuah kaidah fikih juga kerap digunakan untuk mendukung otoritas pemerintah tersebut. Kaidah itu berbunyi, “Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat.”

Pendapat yang sama juga dikeluarkan oleh sejumlah lembaga fatwa luar negeri. Salah satunya ialah Dar Al Ifta, Mesir. Mengutip laman resmi lembaga fatwa otoritatif di negara yang berjuluk Negara Seribu Menara itu, didapati bahwa untuk menguraikan perbedaan di satu negara, ketetapan hakim—dalam hal ini pemerintah atau lembaga fatwa tertunjuk wajib diiikuti.

Tetapi, berdasarkan fatwa pada 2003 lembaga yang dipimpin oleh Syekh Ali Jum’ah tersebut, khusus bagi penetapan awal Dzulhijjah, hendaknya negara-negara yang berbeda berkiblat pada ketetapan Pemerintah Arab Saudi. Ini karena erat kaitannya dengan pelaksanaan haji, terutama berkenaan dengan ibadah wukuf di Arafah. Wukuf yang merupakan rukun utama haji, berlangsung pada 9 Dzulhijjah.

Ini ditentukan berdasarkan pengumuman oleh Dewan Hakim Tertinggi Arab Saudi. Karena itu, menurut Dar Al Ifta, bila melihat hilal dan itu bertentangan dengan ketetapan Arab Saudi terkait wukuf dan Idul Adha, penetapan tidak boleh dilakukan dan tetap harus merujuk pada hasil ketetapan “Pelayan Dua Haram” tersebut. Bila tidak, dikhawatirkan akan terjadi kontradiksi dan perpecahan umat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement