Kamis 09 Feb 2012 09:43 WIB

Mengambil Manfaat Gadaian (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Pegadaian (ilustrasi).
Foto: Antara
Pegadaian (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Suatu saat, kondisi ekonomi rumah tangga Rasulullah SAW kurang baik. Dikisahkan dalam hadits riwayat Anas bin Malik RA yang dinukil oleh Bukhari dalam kitab sahihnya, konon persediaan makanan keluarga Rasulullah menipis.

Kebutuhan pokok yang dimaksud tak lain ialah gandum. Bahkan, diceritakan Anas, keluarga beliau tidak menjalani pagi dengan makan lebih dari satu sha’ gandum sampai sore. “Padahal, semua anggota keluarganya ada sembilan orang,” kata Anas.

Guna mendapatkan kembali bahan makanan pokok itu, lanjut Anas, Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya untuk ditukar dengan gandum. Dalam riwayat lain dari Aisyah ditambahkan, baju yang digadaikan tersebut diambil kembali dengan tempo.

Kisah tersebut kerap dijadikan sebagai argumentasi pelegalan transaksi gadai. Gadai dalam bahasa Arab memiliki konotasi sama dengan rahn. Dalam syariat Islam, rahn didefinisikan dengan harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.

 

Pengertian tersebut kemudian lazim dan masyhur dalam tradisi fikih Mazhab Syafi’i. Di kalangan Mazhab Hanafi, rahn diartikan dengan menyerahkan barang kepada orang lain yang bisa diambil kembali, bentuk transaksinya mirip dengan utang-piutang. Menurut Mazhab Maliki, gadai dimaknai sebagai penyerahan barang sebagai jaminan utang.

Karena itu, rahn menurut syariat Islam diperbolehkan. Penguatannya selain ditegaskan hadits di atas juga termaktub dalam Alquran. Allah SWT berfirman, “Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS Al-Baqarah: 283).

Dalil ini sekaligus menguatkan diperbolehkannya gadai, baik dalam kondisi bermukim maupun bepergian. Lantas, bagaimana hukum mengambil manfaat dari barang gadaian? Baik dari pihak pegadai (rahin, yaitu orang yang bergadai) maupun penggadai (murtahin ialah orang yang menggadai)?

Mayoritas ulama fikih sepakat bila pengambilan manfaat gadaian itu dilakukan oleh rahin, maka hukumnya diperbolehkan. Tetapi, mereka mensyaratkan tindakan mengambil manfaat yang ia lakukan tidak menyebabkan kerusakan ataupun perubahan apa pun pada gadaian.

Jika kegiatan itu bisa menimbulkan efek samping pada gadaian, kebanyakan ulama tidak memperbolehkannya. Misalnya, pegadai menggunakan mobil yang ia gadaikan secara terus-menerus. Penggunaan kendaraan itu bisa menyebabkan kerusakan permanen yang bisa merugikan penggadai.

Di lain pihak, Mazhab Hanafi memandang hukum menggunakan gadaian oleh pegadai mutlak tidak diperbolehkan. Baik sekadar memakai, seperti baju, mau pun menempati kembali gadaian semisal rumah, atau menggunakannya seperti mobil. Selama gadaian masih berada di tangan pegadai dan utang belum dibayar, maka pegadai tidak boleh mengambil manfaat apa pun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement