Ahad 27 May 2018 16:01 WIB

Bangkitnya Syiar Islam di Rwanda

Umat Islam di Rwanda kampanyekan pembangunan masjid.

Muslim Rwanda
Foto: youtube.com
Muslim Rwanda

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Konflik internal dan situasi politik tak menentu di Rwanda tak selamanya terjadi. Kondisi kian lama kian membaik, meski ketegangan belum sepenuhnya hilang. Meski konflik tak separah dahulu, masyarakat di sana tetap hidup dalam kewaspadaan. Mereka berkelompok saling menjaga diri.

New York Times memberitakan, kini negara di Benua Afrika tersebut merupakan tempat Islam tumbuh dengan cepat. Katolik Roma memang telah menjadi agama dominan di Rwanda selama lebih dari satu abad, tapi pertumbuhannya tidak semasif Islam.

Ada saja masyarakat di sana yang tak lagi menghormati tokoh agama karena keyakinan kolektif bahwa ada keterkaitan mereka dengan konflik berdarah dahulu.Dari pada mengimani agama tersebut, mereka lebih memilih Islam.

"Banyak orang meninggal di gereja saya dahulu dan pendeta membantu para pembunuh," ujar Yakobo Djuma Nzeyimana (21 tahun) yang menjadi mualaf tahun 1996.

Dia merasa tak nyaman lagi berdoa di tempat ibadah tersebut. Dia pun bertekad untuk menemukan keyakinan lain yang lebih membuatnya aman dan tenang. Pemuda tersebut mengenakan peci hitam bersama dengan 2.000 jamaah lain mendirikan shalat Jumat di Masjid al-Fath, Jumat (6/4).

Masjid tersebut penuh dengan jamaah. Bahkan di antara mereka banyak yang menghamparkan sajadah di luar masjid.

Komunitas Muslim di Rwanda kini gencar mengampanyekan masyarakat setempat untuk membangun masjid. Harapannya tempat sujud tersebut dapat menampung kepentingan ibadah masyarakat setempat.

Saat ini, Rwanda telah memiliki 500 masjid yang tersebar di berbagai daerah.Jumlah tersebut dua kali lipat lebih banyak dari 10 tahun lalu. Meski tidak ada sensus yang tepat, pemimpin Muslim di Rwanda memperkirakan Rwanda memiliki 1 juta Muslim atau sekitar 15 persen dari populasi saat ini.

Mualaf lainnya, Alex Rutiririza, yang memeluk Islam tahun lalu, mengatakan, imam Muslim memuji umat Islam yang mampu melindungi banyak warga Rwanda dari konflik 1994. K etika insiden mematikan itu terjadi, tempat paling aman bagi masyarakat adalah lingkungan umat Islam.

Kini, permukiman Muslim di Biryogo, Kigali dipenuhi dengan Muslim Rwanda yang hidup berdesakan. Saat konflik terjadi, kelompok milisi berada di mana-mana. Umat Islam menjadi tempat masyarakat berlindung dan berkeluh-kesah. Setelah konflik, hubungan agama menjadi lebih kuat dibanding etnis. Muslim Tutsi dapat hidup aman.

Setelah menjadi mualaf, Alex dikucilkan oleh lingkungan rumahnya yang mayoritas masih memeluk Katolik. Dia mengalami hidup yang sulit dan rumit. Istrinya tetap memeluk agama lamanya, sedangkan anak-anaknya menjadi Muslim. Tetangganya kini menjauhi dia.

Komunitas Muslim yang kini menjadi tempat Alex bernaung adalah lembaga yang mandiri. Mereka tak terlalu mengandalkan bantuan asing dalam jumlah besar. Hanya Libya yang membantu mereka 20 tahun lalu dengan membangun pusat budaya Muslim dan Arab Saudi yang memberikan dana pembangunan masjid.

photo
Muslim Rwanda

Sekretaris Asosiasi Muslim Rwanda Ramadhani Rugema mengatakan, tidak ada satu pun yang tewas jika berlindung di masjid. "Tidak ada muslim yang menginginkan muslim lainnya mati, kami berdiri menghadapi milisi dan membantu banyak non-Muslim," kata dia.

Kelompok militan Rwanda yang dikenal sebagai Interhamwe berasal dari suku Hutu.Rugema yang merupakan orang Tutsi pernah dikejar oleh anggota Interhamwe kemudian dilindungi oleh Muslim asing di rumahnya.

Menurut Rugema, sempat ada dua imam yang ditangkap karena dicurigai ikut serta dalam pembantaian, tapi keduanya dibebaskan dua tahun kemudian. Meski Islam berada di garis depan melindungi warga Rwanda dari kekejaman milisi, agama mayoritas tidak bisa digantikan karena telah menjadi budaya sejak abad ke-19.

Pengeras Suara Dilarang

Dilansir dari BBC, Pemerintah Rwanda telah melarang masjid di ibu kota Rwanda, Kigali, menggunakan pengeras suara untuk me ngumandangkan azan. Mereka beralasan pengeras suara telah mengganggu penduduk yang tinggal di Nyarugenge karena mendengar azan lima kali sehari.

Bagi mereka ini merupakan polusi suara. Meski dilarang menggunakan pengeras suara, umat Islam tetap dibolehkan melaksanakan shalat. Dilansir dari theeastafrican.co.ke, kebijakan ini menuai protes dari pemimpin Muslim di Rwanda. Penasihat Mufti Rwanda Syekh Suleiman Mbarushimana mengatakan, kebijakan larangan tersebut telah melanggar aturan ibadah umat Islam.

"Menghentikan suara azan bukanlah tindakan tepat, kami akan berusaha melakukan upaya tetap menggunakan pengeras suara dengan volume yang tidak mengganggu siapa pun," kata dia.

Syekh Said Mukhtaar Mbabajende mengatakan, pihak berwenang Kigali seha rusnya berkonsultasi dengan komu nitas Muslim sebelum membuat keputusan. Perintah itu datang mendadak. Kami berharap bahwa seharusnya ada konsultasi, kami tahu penyebab polusi suara bermacam-macam.Tetapi saya tidak berpikir masjid menjadi faktor utama polusi suara," kata dia.

Dia mengatakan, pemerintah perlu berhati-hati dalam masalah ini, karena bisa mempengaruhi citranya dalam hal kebebasan beribadah. Kigali mengeluarkan pemberitahuan ke masjid di sektor Nya rugenge di ibu kota, mengarahkan mereka untuk berhenti menggunakan pengeras suara dan menemukan cara alternatif untuk azan.

Perintah itu berlaku beberapa pekan setelah Dewan Pemerintahan Rwanda (RGB), yang mengatur organisasi agama, menutup lebih dari 700 gereja dan satu masjid untuk membangun keamanan dan kebersihan.

Beberapa masjid telah mengecilkan volume dan mengurangi durasi azan. Dia mengatakan ulama akan menulis pesan dan im bauan kepada Dewan Kota Kigali dan RGB atas keprihatinan mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement