Jumat 23 Mar 2018 16:26 WIB

Muslim India Protes Pembatasan Shalat Jumat di Taj Mahal

Hanya Muslim yang tinggal di Agra yang diizinkan masuk.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Taj Mahal
Foto: Pawan Sharma/AP
Taj Mahal

REPUBLIKA.CO.ID, AGRA -- Penduduk Muslim di Agra, negara bagian Uttar Pradesh, India, telah melakukan protes atas pemberlakuan pembatasan di Taj Mahal. Pembatasan tersebut melarang umat Muslim yang tidak tinggal di daerah itu untuk melaksanakan shalat Jumat di masjid yang berdekatan dengan monumen abad ke-17 tersebut.

Menurut laporan berita lokal, penduduk Muslim mengatakan pembatasan itu dimulai beberapa pekan lalu oleh Survei Arkeologi India, yang mengelola situs tersebut. Mereka mengatakan, bahwa pejabat keamanan sekarang memeriksa kartu identitas dari orang-orang yang datang untuk melaksanakan shalat Jumat, hari di mana Taj Mahal ditutup. Sementara itu, hanya Muslim yang tinggal di Agra yang diizinkan masuk.

Mereka berpendapat bahwa sebelumnya, semua Muslim dari India, di mana pun mereka tinggal, diizinkan untuk melaksanakan shalat Jumat. Beberapa tahun yang lalu, Survei Arkeologi India melarang orang asing melaksanakan shalat di masjid pada Jumat, setelah adanya kecurigaan bahwa wisatawan memanfaatkan shalat Jumat untuk menghindari biaya masuk monumen.

Menanggapi pertanyaan tentang pembatasan baru itu, seorang pejabat dari Survei Arkeologi India mengatakan bahwa tidak ada peraturan baru yang berkaitan dengan shalat Jumat di masjid. Namun, ia juga menegaskan bahwa izin untuk melaksanakan shalat secara tradisional telah dibatasi untuk penduduk Agra.

Meskipun Taj Mahal ditutup pada Jumat, tempat monumen dibuka selama dua jam antara tengah hari dan puul 14:00 untuk memungkinkan Muslim melaksanakan shalat atau shalat Jumat. Jamaah Muslim melaksanakan shalat di batu pasir merah Masjid Mumtaz di sisi kanan mausoleum marmer. Praktik ini disebutkan dalam pemberitahuan yang dikeluarkan pada 16 Juli 2008 oleh Kementerian Kebudayaan, yang mengontrol Survei Arkeologi India.

"Monumen akan tetap ditutup pada setiap Jumat, kecuali untuk mereka yang melaksanakan shalat siang di masjid di Kompleks Taj Mahal antara pukul 12:00 hingga 14:00," demikian pernyataan pemberitahuan tersebut, seperti dilansir di Scroll.in, Jumat (23/3).

Pelaksanaan shalat terkadang dilakukan di masjid selama jam-jam buka monumen pada hari-hari lain juga. Hal itu ketika pengunjung Muslim, terlepas dari kewarganegaraan, diizinkan untuk bergabung. Tidak ada aturan resmi tentang hal ini, dan semua pendatang telah membayar biaya masuk.

Menurut laporan, pada 16 Maret lalu Muslim melakukan pawai protes di Agra dan menyerahkan sebuah memorandum kepada pejabat dari Survei Arkeologi India. Mereka menuntut agar tidak ada perbedaan yang harus dibuat antara Muslim dari Agra dan seluruh negara, dan bahwa semua Muslim harus diizinkan untuk melaksanakan shalat Jumat di masjid.

Haji Tahiruddin, ketua komite Khuddam-e-Roza. mengatakan bahwa para pejabat Survey Arkeologi India telah memberlakukan pembatasan itu. Menurutnya, kini hanya umat Islam Agra yang diizinkan untuk melaksanakan shalat di masjid Taj Mahal.

"Mereka memeriksa kartu identitas di gerbang sebelum mengizinkan mereka," kata Tahiruddin.

Komite Khuddam-e-Roza menyelenggarakan Urs tahunan (peringatan mengenang kematian) kaisar Mughal Shahjahan di Taj Mahal. Monumen ini dibangun pada 1632 oleh Shahjahan sebagai mausoleum untuk istrinya, Mumtaz Mahal. Shahjahan juga kemudian dimakamkan di sana.

RK Singh, asisten inspektur Survei Arkeologi India dan Lingkaran Agra, mengatakan bahwa hanya orang-orang Muslim yang secara tradisional melaksanakan shalat di masjid diizinkan masuk pada hari Jumat. Menurutnya, praktik ini terbatas pada praktik tradisional, yang mengacu pada pemberitahuan 2008.

"Tidak ada orang luar yang akan melaksanakan shalat di sini. Ini dimaksudkan untuk penduduk setempat yang telah melaksanakan namaaz (shalat) secara tradisional, ada beberapa masjid lain di sini juga," kata Singh.

RK Singh mengakui bahwa penggunaan Gerbang Selatan tidak diizinkan lagi. Dia mengatakan, keputusan itu diambil pada pertemuan di mana gerbang itu ditandai sebagai kemungkinan ancaman keamanan, yang dapat digunakan oleh elemen anti-sosial.

Namun, ketua Komite Manajemen Masjid Taj Mahal Munawwar Ali, bersikeras bahwa tidak boleh ada pembatasan masuk untuk kegiatan keagamaan. Menurutnya, tidak ada pembatasan seperti itu untuk kegiatan keagamaan di mana saja. Ia mengatakan, titik lain pertentangan adalah penutupan Gerbang Selatan Taj Mahal sejak 2017. Karena itu adalah pintu masuk utama untuk masjid. Menurutnya, gerbang itu tetap terbuka lebih awal, tetapi sekarang sudah ditutup.

"Kami juga menuntut agar itu harus dibuka. Dengan cara ini, ziarah Haji juga dapat dihentikan dengan alasan bahwa hanya penduduk setempat yang akan hadir," kata Ali.

The All India Muslim Personal Board, sebuah organisasi non-pemerintah yang mengklaim mewakili Muslim India, mengatakan bahwa mereka akan bekerja dengan penduduk setempat untuk memastikan bahwa masalah ini ditangani dengan memuaskan.

"Kami akan menghubungi orang-orang lokal yang bersangkutan dan kemudian mengambil langkah lebih lanjut dalam hal ini," kata Zafaryab Jilani, seorang anggota komite eksekutif dewan.

Pada 2013, sebuah kasus muncul dari seorang pemandu dari kelompok turis Bangladesh, setelah ia membantu mereka memasuki gedung Taj Mahal dengan dalih shalat pada Jumat. Saat itulah, Survei Arkeologi India melarang orang asing menghadiri shalat di situs tersebut pada Jumat.

Biaya masuk di Taj Mahal untuk orang India adalah 40 rupee per orang. Biaya itu naik menjadi 530 rupee bagi warga negara dari negara-negara anggota Asosiasi Asia Selatan untuk Kerja Sama Regional, yang meliputi Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Nepal, Maladewa, Pakistan, dan Sri Lanka. Orang asing lainnya membayar seribu rupee per orang.

Pada Januari, Survei Arkeologi India juga mengumumkan rencana untuk membatasi jumlah wisatawan di monumen menjadi 40 ribu sehari. Selama setahun terakhir atau lebih, para pemimpin Hindutva telah menegaskan kembali bahwa Taj Mahal adalah kuil Hindu yang dikenal sebagai Tejo Mahalaya. Pada Oktober tahun lalu, pemerintah Uttar Pradesh dikritik karena meniadakan situs warisan dunia Unesco dari buku panduan resmi pariwisata Uttar Pradesh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement