Jumat 22 Jun 2012 16:08 WIB

Terbeseki = Tersedak

Makanan dengan kadar tinggi gula (ilustrasi)
Foto: flickr.com/photos/jujuly25/370986806/
Makanan dengan kadar tinggi gula (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum Wr Wb

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Ini bukan judul bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mengapa? Begini awal ceritanya, teman saya Dani sprite atau Dani Jive, dulu ketika kita sedang makan, “kabesekan”(bahasa Sunda).

Bersama Almarhum Harry Roesli dan teman-teman lainnya, kita berupaya mencari apa kata “kabesekan” dalam bahasa Indonesia. Sulit sekali karena kita semua tidak pernah menyebutkan “kabesekan” dalam bahasa Indonesia. Akhirnya, karena saking penasarannya saya membuka Kamus bahasa Indonesia keesokan harinya dan kata yang saya cari adalah tersedak!

Berbicara masalah makanan menurut penelitian selain tidak boleh tergesa-gesa, jumlah kunyahannya pun setiap suapan sebaiknya 36 kali. Selain membantu meringankan kerja system pencernaan, yang menariknya lagi frekuensi pengunyahan yang banyak ini akan merangsang sinyal rasa kenyang dari susunan saraf pusat atau otak. Jadi, kita pun lebih mudah merasa kenyang dan tidak akan terlalu banyak dalam mengkonsumsi makanan.

Ya, Rasulullah SAW menegaskan bahwa penyakit itu banyak bersumber dari makanan. Karena itu kita harus mengatur isi perut kita agar tidak seluruhnya terisi makanan. Seperti dinyatakan dalam sebuah hadis, “Tidaklah Bani Adam memenuhi kantong yang lebih jelek dari perutnya, hendaknya Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya, jika tidak bisa tidak (terpaksa) maka makanlah sepertiga makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi)

Jika kita menela’ah lagi tentang makanan, dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman, “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”. (QS. ‘Abasa, 80 : 24)

Banyak sekali aspek yang dapat kita perhatikan dari makanan. Tapi mari kita mulai dari prosesnya, dari mana datangnya makanan itu di hadapan kita? Jika yang ada di hadapan kita Nasi, mari kita break down; jika kita makan di rumah berarti ada yang menanak nasi, sebelum itu pastilah berupa beras yang berarti ada yang menjualnya, sebelumnya ada yang memanen, menanam, kemudian tidaklah mungkin jika tidak ada air, berarti Allah harus menciptakan hujan, tidaklah mungkin jika tidak ada awan dan tidaklah mungkin jika tidak ada angin, angin terjadi karena dataran tinggi dan dataran rendah, belum faktor matahari tidaklah mungkin padi menguning jika tidak ada matahari, belum lagi faktor biji-bijian, faktor tanah, jika Allah tidak membelah tanah apa yang terjadi dan sebagainya-dan sebagainya. Prosesnya sangatlah rumit dan kompleks.

Subhanallah, Karena itulah sudah sepatutnya kita bersyukur jika ada makanan di hadapan kita, dengan proses yang begitu panjang sampai akhirnya makanan ada di hadapan kita dan seringkali kita lupa bersyukur kepada Allah, malahan mencela makanan dengan berbicara “wah ga enak gini makanannya”, atau “apaan nih”. Masya Allah padahal masalah ramuan terlalu asin atau bukan itu salah yang masaknya, kenapa makanannya yang dicela?

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., “Nabi Saw tidak pernah mencela setiap makanan (yang dihidangkan kepadanya), tetapi jika ia menyukainya akan dimakannya, sebaliknya jika tidak, Nabi Saw akan meninggalkannya (tanpa memperlihatkan ketidaksukaannya).”

Satu hal lagimakanan yang kita makan itu tidaklah akan masuk ke perut jika tidak ada gaya gravitasi bumi, artinya tatanan dan keteraturan langit yang menyebabkan gaya gravitasipun Allah atur hanya sekedar untuk kepentingan kita makan. Dan dalam (QS. Al Jaatsiyah, 45 : 13),  “Dan Dia telah menundukan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari padaNYA. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.

Subhanallah. Bagi kaum yang “berfikir.” Atau tafakkarun artinya bertafakur. Mari kita tafakuri, dengan makanpun kita bisa berdzikir dalam artian menghadirkan Allah ke dalam benak, agar kita bisa bersyukur dan bertaqorub atau lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Karena itu tidaklah mengherankan jika kita akan makan hendaklah kita berdoa; “Ya Allah, berilah berkah dari rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksa neraka”.

Seorang teman bertanya apa hubungan makan dengan adzab neraka? maka dari padanya ayat “maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya” itu bisa juga dipahami dengan bagaimana manusia mendapatkan makanan tersebut, dengan cara seperti apa? Tangan kiri atau tangan kanan. Kemudian makanan apa yang dimakan, apakah yang termasuk “halaalan thoyyiban”, dan lain sebagainya.

Inilah kesempurnaan agama Islam, tata cara makananpun secara detail dari mulai hakikatnya, menanam hingga memanennya, adab & tata caranya, bentuk, rasa dan jenisnya, seluruhnya telah diatur rapih oleh Allah dan RasulNYA. Inilah “diin” atau tata cara kita melakukan keseharian kita secara selamat sekaligus berserah diri kepada aturan Allah SWT, karena hanya berserah diri kepada Allahlah kita bisa selamat.

Selamat makan, selamat berdzikir, dan selamat bersyukur, hati-hati kabesekan, alias terbeseki alias tersedak!

Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)       

Twitter: @erickyusuf

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement